OPINI
Oleh : Khairul Tasmigunawan
STIE Pembangunan Tanjungpinang
Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau, menghadapi tantangan unik dalam membangun konektivitas, melindungi ekosistem maritim, dan mewujudkan keadilan sosial. DPR RI, sebagai lembaga legislatif yang menjadi cermin aspirasi rakyat, memiliki peran strategis dalam menjawab kompleksitas ini.
Sebagai mahasiswa aktivis di wilayah pesisir, saya percaya bahwa DPR bukan hanya wadah legitimasi kebijakan, tetapi juga alat transformasi untuk menerjemahkan harapan rakyat menjadi aksi konkret.
Esai ini tidak hanya merekam capaian DPR selama periode tertentu, tetapi juga menawarkan solusi inovatif untuk memperkuat kemitraan antara wakil rakyat dan masyarakat kepulauan.
Dalam bidang legislasi, DPR telah menunjukkan komitmen melalui pengesahan UU No. 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Regulasi ini menjadi payung hukum untuk melindungi sumber daya laut dari kerusakan akibat aktivitas tambang, illegal fishing , dan abrasi.
Misalnya, di Maluku, UU ini memungkinkan pemerintah daerah mengembangkan kawasan konservasi laut yang melibatkan nelayan lokal sebagai pengelola. Namun, implementasi masih terhambat oleh minimnya anggaran dan kapasitas SDM daerah.
Kontribusi nyata DPR bisa diwujudkan melalui pengawasan ketat terhadap alokasi dana desa pesisir dan pelatihan teknis bagi aparat daerah.
Di sektor pengawasan, DPR telah membuktikan kepeduliannya melalui kunjungan lapangan ke wilayah kepulauan seperti NTT dan Sulawesi Utara. Komisi IV misalnya, pernah meninjau proyek pelabuhan penyeberangan di Kepulauan Sangihe, yang bertujuan meningkatkan konektivitas antarpulau. Sayangnya, banyak proyek infrastruktur pesisir belum dirancang dengan pendekatan climate-resilient , sehingga mudah rusak akibat badai atau pasang surut.
DPR perlu mendorong revisi standar teknis proyek infrastruktur maritim dan mewajibkan partisipasi nelayan lokal dalam perencanaan. Ini akan memastikan pembangunan tidak hanya megah secara angka, tetapi juga berkelanjutan dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Dalam pengelolaan anggaran, DPR telah menginisiasi program seperti Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk pengembangan pelabuhan perikanan kecil.
Di Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua, DAK ini berhasil meningkatkan pendapatan nelayan melalui pembangunan tempat pelelangan ikan modern. Namun, distribusi anggaran masih timpang: wilayah kepulauan kerap tertinggal karena proses birokrasi yang rumit dan keterbatasan infrastruktur digital.
Kontribusi DPR bisa diwujudkan melalui penguatan sistem e-budgeting yang ramah daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) dan pemberian insentif bagi daerah yang berhasil menyerap anggaran dengan transparan.
Terakhir, DPR harus menjadi jembatan antara aspirasi masyarakat kepulauan dan kebijakan nasional. Sebagai aktivis muda, saya melihat potensi besar jika DPR membuka ruang partisipasi lebih luas, seperti Youth Parliament atau forum diskusi virtual bersama kelompok nelayan, petani rumput laut, dan pelaku ekowisata. Contoh baik adalah inisiatif Fraksi Partai Demokrat yang menggandeng mahasiswa Papua dalam penyusunan RUU Kelautan.
Selain itu, transparansi informasi harus diperkuat dengan menyediakan laporan kinerja DPR dalam format lokal—misalnya, podcast berbahasa daerah atau infografis yang bisa diunduh via aplikasi pesan singkat. Dengan begitu, rakyat di pulau-pulau terpencil pun bisa mengawal janji kampanye wakilnya tanpa terhalang keterbatasan akses internet.
DPR RI bukanlah lembaga sempurna, tetapi ia adalah wujud demokrasi yang terus berkembang. Bagi kami yang tinggal di pulau-pulau kecil, DPR bukan hanya gedung megah di Senayan, tetapi simbol harapan agar laut yang memisahkan bisa menjadi jembatan kemajuan. Dengan sinergi antara aspirasi rakyat, komitmen DPR, dan inovasi dalam pemerintahan, Indonesia kepulauan dapat tumbuh lebih inklusif, berkelanjutan,
dan adil.