Menu

Mode Gelap
LAM Kepri Keluarkan Maklumat Terkait Kekerasan di Rempang Tantangan SDN 009 Batu Aji di Balik Semangat Mencerdaskan Generasi Muda Proyek Pengadaan Sarana Bangunan Gedung Radioterapi RSUD RAT Senilai Rp3,59 M Diduga di Mark Up UMK Tanjungpinang 2025 Ditetapkan Rp3,62 Juta Pemkab Bintan Dinilai Sukses Dukung Optimalisasi Pengelolaan ZIS Kemenangan Kontra Filipina Jadi Penentu, Indonesia Bertekad Lolos di AFF

FEATURE

Pelita di Ujung Senja: Kisah Japia’ah Menantang Derita

badge-check


					Japia'ah, seorang nenek asal Desa Setokok, Barelang Perbesar

Japia'ah, seorang nenek asal Desa Setokok, Barelang

Di usia senjanya yang telah menginjak 70 tahun, Japia’ah, seorang nenek asal Desa Setokok, Barelang, seperti daun yang tertiup angin namun tak kunjung gugur.

Dalam kesunyian hidupnya, ia tetap tegak berdiri di tengah beratnya beban hidup, mengajarkan bahwa semangat tak mengenal usia.

Di balik keriput wajah dan tubuh ringkih, Japia’ah menyimpan ketangguhan hati yang jauh lebih besar dari rumah kayu sederhananya yang mulai lapuk dimakan waktu.

Tanpa pendamping, ia menjalani hari-harinya dalam kesendirian yang kerap memeluk erat saat malam tiba, hanya ditemani bayang-bayang dan suara angin laut yang menderu.

Japia’ah tidak mengharapkan banyak dari hidup, selain dapat tetap berjualan bensin eceran kepada para nelayan di kampungnya.

Aktivitas yang terlihat sederhana ini seolah menjadi jembatan terakhirnya untuk bertahan dari kerasnya arus kehidupan. Di balik jerigen-jerigen bensin itu, tersimpan harapan, meski tipis, yang terus dipertahankan.

Para nelayan, tanpa sadar, menggantungkan hidup mereka pada tangan kecil Japia’ah yang sudah mulai gemetar saat mengangkat jerigen. Ia tahu, tanpa bahan bakar, kapal-kapal itu tidak akan melaut, dan tanpa laut, kehidupan mereka akan berhenti.

Desa Setokok, yang terletak di kawasan Barelang, adalah daerah nelayan yang hidupnya sangat bergantung pada hasil laut. Namun, di balik gemuruh ombak dan kapal yang berlayar, ada sosok Japia’ah yang menjadi penopang dari setiap perahu yang melaju di perairan.

Ia membeli bensin dalam jumlah besar, memecahnya menjadi takaran kecil, dan menjualnya kembali kepada para nelayan. Dari sinilah ia bertahan hidup, meski sering kali apa yang didapatnya sekadar cukup untuk makan sehari.

“Kadang nelayan pun membeli bensinnya, dengan berhutang, saya tidak tega melihatnya,” kata Japiaah.

Hidup Japia’ah tidaklah mudah. Di saat usia mulai menagih janjinya, tenaga dan fisik perlahan meluruh.

Rasa letih kerap menyelimuti, namun ia tidak pernah mengizinkan dirinya jatuh dalam keluhan.

Setiap pagi, dengan langkah tertatih dan punggung yang semakin membungkuk, Japia’ah melayani para nelayan dengan sabar.

Dalam keheningan hatinya, mungkin ada derita yang tak pernah ia ucapkan. Derita yang hadir saat malam tiba dan rasa sepi menggigit lebih tajam daripada angin malam yang menusuk kulit. Tapi Japia’ah tidak mengeluh.

“Selama saya masih bisa bergerak, saya akan terus berjualan. Kalau tidak, siapa lagi yang akan bantu para nelayan ini?” katanya dengan senyum yang penuh kehangatan, meski di balik senyum itu mungkin terselip rasa lelah yang mendalam.

Keteguhan Japia’ah bukan sekadar cerita tentang seorang nenek yang berjuang dalam kesulitan, melainkan sebuah puisi tentang kemandirian dan kekuatan.

Di usia senjanya, ia menjadi pengingat bahwa hidup, meskipun penuh derita, selalu bisa dilalui dengan kepala tegak dan hati yang tetap terjaga.

Bagi para nelayan di Setokok, Japia’ah bukan sekadar penjual bensin, melainkan pelita di tengah kegelapan, jadi ibu, nenek, dan teman yang tak pernah lelah hadir di tengah-tengah mereka. (dal)