MENGAWALI 2023, ada beberapa poin yang perlu menjadi perhatian dalam pembangunan pendidikan di Indonesia. Hal itu dilakukan untuk melihat capaian dan pekerjaan yang perlu diperbaiki agar berbagai tujuan hidupnya dapat dicapai di tahun selanjutnya. Dalam konteks pendidikan, ada beberapa catatan yang perlu disajikan.
Pembangunan Pendidikan
Pertama, pemerintah perlu terus meningkatkan kerja-kerja untuk merealisasikan janji pencerdasan anak bangsa. Apalagi, dalam periode kedua, kepemimpinan Presiden Joko Widodo sudah dipaparkan mengenai fokusnya terkait dengan isu pembangunan sumber daya manusia (SDM). Dalam konteks itu, peningkatan SDM berarti mengoptimalkan berbagai potensi yang ada di dalam diri manusia dengan didukung berbagai program yang berpihak pada kelompok yang rentan.
Kedua, fokus pemerintah untuk memberikan pelayanan yang merata atau terkait dengan pemerataan akses masih menjadi hal utama. Catatan selama pandemi menunjukkan berbagai program mendasar pemerintah terkait dengan pembangunan SDM mendapatkan hambatan karena layanan dasar, seperti jaringan listrik, jaringan internet, fasilitas air bersih, sarana tempat tinggal, dan dukungan SDM (guru dan tenaga kesehatan) masih terbatas.
Cobalah tengok kawasan Indonesia Timur (KIT) atau wilayah-wilayah 3T yang masih membutuhkan perhatian intensif dari pemerintah. Tentu, itu sejalan dengan upaya membangun dari pinggir yang harus dikawal terus secara konsisten.
Ketiga, meski pandemi belum usai, tampaknya kita terlalu cepat lupa terhadap situasi di masa krisis pandemi. Untuk itu, perlu ada evaluasi menyeluruh dari pemerintah mengenai dampak pandemi terhadap pembangunan SDM, terutama terkait dengan pendidikan.
Perlu dicek, bagaimana potret kemampuan literasi dan numerasi juga pola interaksi dari anak-anak yang menghadapi situasi pandemi beberapa tahun ini. Jika ada ketertinggalan secara akademik dan sosial, harus ada extra policy dalam menangani situasi tersebut. Itu karena tampak sekali kita lupa pernah melalui medan pandemi yang sulit, evaluasi menjadi sangat penting sebagai ingatan bagi setiap pihak dan upaya perbaikan.
Keempat, sinergi di antara Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dengan berbagai kementerian lain serta dengan pemerintah daerah. Dalam ranah ideal, hal tersebut merupakan keniscayaan, tetapi di level praktikal sering kali ada tantangan untuk mewujudkan sinergi itu. Misalnya, dalam konteks penerimaan peserta didik baru (PPDB), selalu saja ada kegaduhan dan ketidaksinkronan kesepahaman dan kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah.
Kelima, peta jalan pendidikan yang sempat menjadi diskursus perlu didiskusikan kembali. Peta jalan pendidikan yang disusun perlu melibatkan berbagai pihak secara dialogis. Peta jalan yang disusun juga perlu memberi ruang terhadap internalisasi fundamen budaya. Tidak hanya pada konteks kosmopolitanisme yang mengagungkan konteks global. Fokus pembangunan pendidikan ialah SDM, teknologi, dan budaya.
Isu teknologi tentu penting dibincangkan dan dikuatkan, tetapi terjebak pada slogan-slogan dan melupakan konteks Indonesia, yang masih ada banyak daerah dengan keterbatasan akses teknologi dan informasi, tentu bukan hal yang baik. Seperti diungkap pada poin pertama, pemenuhan akses menjadi penting, sambil membangun budaya anak-anak yang melek teknologi dan informasi, serta meningkatkan kapasitas guru.
Keenam, kebijakan merdeka belajar harus didasarkan pada pijakan paradigmatik yang kukuh. Seperti cita-cita Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan yang memerdekakan. Bukan sekadar menciptakan manusia yang mengakomodasi perubahan global, melainkan juga tidak berpijak pada kondisi lokal dan nasional.
Memerdekakan guru dan para siswa dalam kegiatan pendidikan bukan perkara mudah. Operasionalisasinya harus memberi ruang agar setiap pihak berubah secara perspektif dalam mengaktualisasikan pendidikan yang memberi ruang kebebasan berpikir.
Ketujuh, pendidikan vokasi yang dibangun perlu diprioritaskan pada pembangunan SDM lokal yang berbasis pada kondisi lokal dan ditujukan untuk membangun industri lokal. Jadi, tidak semata bergantung sepenuhnya pada sokongan investasi yang datang dari luar negeri. Ketergantungan pada arus modal dari luar sangat riskan dan tampak di masa pandemi ketika modal yang masuk semakin minim serta berpengaruh pada pemutusan hubungan kerja para buruh.
Penguatan entrepreneurship menjadi salah satu poin penting sehingga pendidikan dan pelatihan vokasi tidak sekadar memproduksi tenaga kerja industri. Adanya dirjen vokasi harus diperkuat dengan visi vokasi yang berbasis pada penguatan industri kerakyatan, pemberdayaan UMKM, dan ekonomi lokal.
Kedelapan, perhatian terhadap kesejahteraan guru. Isu itu cukup mengemuka di tahun ini. Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), misalnya, dalam banyak pernyataan di media terus mengingatkan janji pemerintah untuk menyejahterakan guru.
Perekrutan melalui guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), misalnya, masih memiliki berbagai persoalan dan membutuhkan perhatian khusus dari pemerintah. Guru-guru berhak untuk mendapatkan penghasilan yang memadai sesuai dengan aturan yang berlaku. Pemuliaan profesi guru dengan menjamin kesejahteraannya tentu menjadi nilai utama.
Kesembilan, dialog dalam perumusan kebijakan merupakan hal utama. Pemerintah sempat mengajukan revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam prosesnya, ada banyak masukan dari berbagai pihak yang peduli terhadap pendidikan di Indonesia.
Dalam proses itu, catatan dari berbagai pihak sangat penting untuk didengar dan didiskusikan. Prosesnya tentu tidak mudah dan cepat. Perubahan merupakan keniscayaan, tetapi dalam prosesnya perlu memperhatikan ragam aspirasi.
Pemerintah Harus Lebih Transparan
Beberapa kali tampak pemerintah baru merespons setelah dikritik organisasi guru, pengamat, dan aktivis pendidikan. Jangan selalu merespons ketika publik sudah gelisah sebab kebijakan pendidikan memang perlu dirancang secara dialogis.
Prosesnya lama dan melelahkan, tetapi akan menghasilkan produk kebijakan yang lebih akomodatif, berpihak pada masyarakat, dan memiliki legitimasi kuat. Pemerintah harus lebih transparan dan membuka ruang dialog bagi seluruh elemen yang peduli terhadap pendidikan. Utamanya kepada guru yang berhadap-hadapan langsung dengan siswa dan menjadi ujung tombak keberhasilan pendidikan.
Tentu, ada banyak poin lain yang penting disampaikan. Namun, kurang lebih sembilan poin itu perlu diperhatikan untuk perbaikan pendidikan. Berbagai hal baik yang sudah diraih tentu harus dipertahankan. Jika ada banyak hal yang belum terealisasi dengan optimal, perlu menjadi perhatian. Semoga upaya untuk memberikan hak pendidikan bagi setiap anak bangsa dapat ditunaikan.***