TANJUNGPINANG (HK) – Nelayan di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), memprotes rencana pertambangan pasir laut untuk dijual ke Singapura.
Penjualan pasir laut merupakan bagian dari konspirasi yang menghilangkan kekayaan alam Kepulauan Riau dan menghancurkan masa depan para nelayan.
”Kami telah mendengar surat sejumlah nelayan yang telah berkoordinasi dengan Lembaga Adat Kesultanan Riau, Lingga. Mereka sedih, bahkan sebagian besar menangis setelah mendengar akan dibuka kembali penjualan pasir laut ke Singapura. Kekayaan alam laut di Kepri akan hilang, dan masa depan nelayan dipastikan hancur,” kata Juru Bicara Lembaga Adat Kesultanan Riau Lingga (LAKRL), Said Ubaydillah, kemarin.
Rencana akan dibukanya kembali ekspor pasir laut secara besar-besaran dari Kepulauan Riau ke luar negeri, khususnya ke Singapura, sebelumnya ditandai dengan kunjungan kerja reses Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI masa persidangan IV 2021-2022, pada 11- 15 Mai.
Di dalam laporan kunjungan, Anggota DPR yang dipimpin Eddy Soeparno itu, diikuti oleh 16 anggota, antara lain Adian Yunus Yusak Napitupulu, Asman Abnur, dan sejumlah nama di komisi itu.
Nelayan, kata Said Ubaydillah, mengaku sedih, karena Anggota DPR RI telah menghitung-hitung penghasilan dari ekspor pasir laut di Kepri.
Dalam laporan yang diperoleh, anggota DPR RI telah menghitung-hitung keuntungan, yakni harga pasir di dalam negeri sebesar Rp188.000,00 per m3, dan yang paling menggiurkan, adalah harga pasir laut jika dijual ke luar negeri sebesar luar negeri sebesar Rp228.000 per m3. Anggota DPR yang dihadiri oleh para tokoh, seperti Adian Napitupulu, lanjut Said Ubaydillah, hanya membayangkan uang masuk ratusan miliar per bulan dari ekspor pasir laut
”Sementara terhadap dampak kerusakan yang dialami masyarakat di Kepri, khususnya nelayan, tidak menjadi pertimbangan buat mereka,” katanya.
Ekspor pasir laut pernah dilakukan secara besar-besara di akhir 1990-an hingga awal 2000-an. Dan Ketika itu, kata Said Ubaydillah, empat perusahaan raksasa yang berafiliasi ke penguasa orde baru, menjarah kekayaan Kepri dengan menimbun pundi-pundi kekayaan kelompok Salim dan Kelompok Cendana.
”Apakah penjajahan ekonomi yang berdampak pada kehancuran lingkungan, dan mematikan masa depan nelayan ini, akan dilanjutkan di masa sekarang? Tolonglah, anggota DPR RI sebagai wakil rakyat, melihat apa yang terjadi di bawah,” imbuhnya.
Dalam laporan yang diterima media, kunjungan Anggota DPR Komisi VII itu tidak benar menyerap aspirasi masyarakat Kepulauan Riau, khususnya kelompok nelayan. Komisi VII hanya bertemu dengan Gubernur Provinsi Kepulauan Riau, Walikota Batam, Walikota Tanjung Pinang, Bupati Tanjung Pinang, Bupati Lingga, Bupati Karimun, Bupati Bintan, Dinas ESDM Provinsi, Asosiasi Pengusaha Pasir Laut Nasional (APPLN), Asosiasi Pengusaha Pasir Laut (APPL), dan instansi terkait lainnya.
Mata pencaharian nelayan di Kepulauan Riau akan hilang.
”Bagaimana mereka (Anggota DPR Komisi VII) menyerap aspirasi, jika mereka hanya bertemu dengan pihak yang sudah kebelet dengan uang dari ekspor pasir? Para pengusaha ekspor pasir tidak akan pernah memikirkan dampak yang ditimbulkan.
Faktanya, puluhan tahun mendulang dolar dari pasir di Kepri dengan merusak terumbu karang dan biota laut, mereka tidak pernah sedikitpun berpikir tentang kehidupan nelayan,” ungkapnya.
Penghentian ekspor pasir laut padatahun 2002 hingga 2003, kata Said Ubaydillah, membuat lingkungan laut di Kepri kembali membaik. Namun, katanya, belum lagi kehidupan nelayan diperhatikan, kini laut yang menjadi tumpuan hidup nelayan kembali akan diporak-poranda oleh penguasa dan pengusaha yang ‘birahi’ terhadap keuntungan dollar.
Saat dihentikannya ekspor pasir laut, muncul Surat Keputusan Menteri Kelautan Nomor 33 tahun 2002 tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Laut untuk Kegiatan Pengusahaan Pasir Laut.
Ada zona larangan, yakni (1) Kawasan Pelestarian Alam, terdiri dari Taman Nasional dan Taman Wisata Alam. (2) Kawasan Suaka Alam, terdiri dari Cagar Alam dan Suaka Margasatwa.
(3) Kawasan perlindungan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, terdiri dari Taman Laut Daerah, Kawasan Perlindungan bagi Mamalia Laut (Marine Mammals Sanctuaries), serta Suaka Perikanan, Daerah migrasi biota laut dan Daerah Perlindungan Laut, terumbu karang, serta kawasan pemijahan ikan dan biota laut lainnya.
(4) Perairan dengan jarak kurang dari atau sama dengan 2 (dua) mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah perairan kepulauan, atau laut lepas pada saat surut terendah, serta lain-lain.
Sebenarnya sudah ada Undang-Undang nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang telah direvisi dengan Undang-Undang nomor 1 tahun 2014, yang melarang dilakukannya penambangan pasir, jika dapat merusak ekosistem perairan. Namun, faktanya, kini malah Anggota DPR RI Komisi VII yang sebagian di dalamnya dihuni oleh pahlawan Reformasi, justru akan memadamkan harapan hidup para nelayan.
Hal senada juga dikatakan Wakil Direktur Bidang Humas Lembaga Kelautan dan Perikanan Indonesia (LKPI) Provinsi Kepri, Martin Dalimunte.
Ia mengagatakan rencanaekspor pasir laut ke luar negeri jelas terganggu, terutama biota laut yang ada di dalamnya.
“Provinsi Kepri ini jelas merupakan daerah maritim. Kalau dilakukan kegiatan pengerukan pasir laut akan terganggu dan air menjadi keruh sehingga berdampak terhadap kerusakan lingkungan dan nelayan tradisional,” kata Martin.
Sebenarnya lanjut dia, banyak sektor lain yang bisa dimanfaatkan untuk menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tidak mengganggu nelayan tradisional.
Namun, jika rencana ekspor pasir laut dilakukan, maka kata dia, akan mengganggu nelayan tradisional terutama terhadap mata pencarian yang berkurang. (eza/pjn)