BATAM (HK) – Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Gerakan Tuntas Korupsi (GETUK) Kepri, Jusri Sabri kembali angkat bicara terhadap polemik pengalihan dan pencabutan alokasi lahan Hotel Pura Jaya di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) yang diduga telah menelan ratusan milyar rupiah kerugian yang dialami oleh penguasa awalnya hingga tercium aroma dugaan korupsi berupa gratifikasi dan penyalahgunaan kewenangan.

“Hasil penelusuran dan telaah kami, setidaknya ada 3 (Tiga) yang menjadi fokus kami atas polemik pengalihan lahan hotel Pura Jaya tersebut,”kata Jusri Sabri pada media ini, Sabtu (05/04/2025).

Tiga hal dimaksud lanjutnya yakni;

1. Penyalahgunaan Wewenang
2. Gratifikasi
3. Perobohan dan Perusakan Bangunan eks Hotel Pura Jaya tanpa izin atau sepihak, hingga dapat merusak dunia investasi khusus di kota Batam.

“Pelaku penyalahgunaan wewenang dalam jabatan dapat dikenakan sanksi pidana penjara, denda, dan pidana tambahan lainnya, sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor,”ujarnya.

Sanksi pidana, paparnya yakni Pidana penjara seumur hidup, Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun

“Kemudian sanksi denda, paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp1 miliar,”jelasnya.

Diterangkan, bahwa saksi pidana untuk gratifikasi diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

“Ancaman hukumannya adalah: Pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun ditambah Pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar,”terangnya.

Sementara untuk Gratifikasi jelasnya, merupakan pemberian yang diberikan karena layanan atau manfaat yang diperoleh. Gratifikasi dapat berupa uang, barang, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, dan lain-lain.

“Pasal 200 ayat (1) KUHP, Barangsiapa dengan sengaja menghancurkan atau merusak gedung atau bangunan, diancam : dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika karenanya timbul bahaya umum bagi barang”ujarnya pria yang juga termasuk salah seorang pejuang di Kepri ini.

Dikutip dari beberapa berita media masa lokal beredar disebutkan adanya dugaan salah satu kelompok jaringan mafia menguasai tanah yang alokasi lahannya dicabut oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam.

Indikasinya, untuk memperlancar praktik penguasaan lahan di BP Batam, penerbitan faktur Uang Wajib Tahunan (UWT) dapat dilakukan oknum di luar instansi BP Batam, sehingga alokasi lahannya dicabut, ditawarkan kepada perusahaan yang berminat.

Jika sudah ada kesepakatan, maka Faktur UWT langsung bisa diterbitkan oleh seseorang di luar instansi BP Batam.

Pernyataan itu disampaikan setelah menyimak kasus pencabutan alokasi lahan Hotel Pura Jaya yang dalam 15 hari diserahkan ke pihak perusahaan tertentu, guna mendapatkan alokasi lahan Hotel Pura Jaya, seluas 300.000 meter per segi.

Dalam praktiknya, proses pengalihan alokasi lahan dari berbagai pengusaha yang berada di lokasi strategis, didukung sepenuhnya oleh BP Batam.

Bahkan perobohan gedung sebesar Hotel Pura Jaya yang bernilai Rp400 miliar, pun, tanpa ragu-ragu dieksekusi segera dengan dikawal Tim Terpadu.

Tim Terpadu sejatinya untuk mengawal penertiban kawasan bangunan liar, tetapi belakangan ditugaskan untuk mengawal eksekusi perobohan bangunan milk pengusaha yang alokasi lahannya dicabut.

Peristiwa perobohan bangunan Hotel Pura Jaya dan gedung pabrik PT Metallwerk Industry di Tanjunguncang, Batam.

Alasan dicabutnya alokasi lahan perusahaan bisa dipicu oleh berbagai sebab, antara lain pengusaha yang memiliki lahan strategis tidak bersedia memberikan uang suap untuk memperpanjang UWT lahannya, sehingga perpanjangan UWT tanahnya ditutup BP Batam, dan selanjutnya alokasi lahan dicabut dan diserahkan ke pengusaha lain yang siap menampung lahan tersebut.

Informasi lainnya yang beredar, idapati fakta penerbitan Faktur UWT BP Batam atas alokasi lahan yang masih dikuasai oleh pengusaha penerima alokasi lahan sebelumnya.

Akibat terbitnya Faktur UWT baru di atas lahan yang masih dikuasai oleh perusahaan lain, muncul permasalahan baru, yakni tumpang tindih alokasi lahan.

Dalam perjalanannya penerima alokasi baru akan menguasai lahan karena pemilik alokasi lahan lama tidak lagi dapat membayar UWT. Dengan habisnya masa sewa lahan oleh pemilik lahan yang lama, maka secara hukum pemilik alokasi lahan yang lama menjadi batal atau tidak sah.

Indikasi lainnya, dalam Penerbitan Faktur UWT saat ini dikuasai oleh seseorang yang berada di eksternal BP Batam, atau bukan pejabat atau pegawai BP Batam.

Pengusaha yang akan menerima alokasi lahan yang dicabut dari pengusaha lama, tanpa perlu menunggu lama, bisa langsung mendapatkan Faktur UWT baru untuk alokasi lahan yang diurus, setelah adanya dugaan penyerahan sejumlah uang yang telah disepakati.

Modus seperti itu yang membuat perusahaan baru penerima alokasi lahan yang dicabut prosesnya amat cepat, karena yang menguasai administrasi lahan hingga Faktur UWT, dikuasai oleh mafia lahan di maksud.

Direktur PT Dani Tasha Lestari (DTL) Rury Afriansyah menyatakan dukungannya atas upaya Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Gerakan Tuntas Korupsi (GETUK) Kepri, Jusri Sabri yang akan melaporkan polemik pencabutan alokasi lahan Hotel Pura Jaya di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta.

Rury memaparkan, akibat tindakan pencabutan alokasi lahan Hotel Pura Jaya tersebut, pihaknya telah mengalami total kerugian sekitar Rp.900 miliar, berupa bangunan beserta isinya termasuk lahan yang telah dikuasai selama ini.

“Total karyawan Hotel Pura Jaya selama ini ada sebanyak 300 orang yang terpaksa diberhentikan. Sebagian besar karyawan tersebut merupakan putra daerah di Kepri,”ucapnya.

Terkait upaya LSM GETUK tersebut, Rury menyatakan, siap memberikan data dan dokumen yang diperlukan.

“Semua dan dan dokumen diperlukan oleh LSM GETUK, kita siap berikan,”ujar
Rury Afriansyah, pria yang juga mengaku sebagai putra daerah di Provinsi Kepri ini.(Tim)

 

Sebelumnya, Ketua LSM GETUK Kepri, Jusri Sabri mengatakan, berdasarkan hasil penelusuran pihaknya mendapati adanya aroma dugaan korupsi melalui Tindakan Penyalahgunaan Wewenang dan Gratifikasi dalam upaya untuk menguasai serta pengalihan lahan yang sudah puluhan tahun dipercayakan kepada pihak hotel Pura Jaya melalui BP Batam kepihak kelompok tertentu.
.
“Hasil penelusuran kami, aroma korupsi berupa gratifikasi dalam upaya pengalihan lahan dimaksud sudah semakin terkuak,” kata Jusri Sabri, pria yang juga dikenal sebagai Koordinator Pejuang Marwah Kepri pada awak media ini di Tanjungpinang, Jumat (04/04/2025).

Lebih lanjut, Jusri mengatakan, adanya indikasi dugaan. Gratifikasi dan penyalahgunaan wewenang tersebut pihaknya juga segera melaporkan ke Aparat Penegak Hukum (APH) yaitu langsung ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, termasuk kepihak Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), terkait aliran dana dari dan ke pihak tertentu.

“Kami juga akan melaporkan dugaan mafia lahan dalam kasus ini ke Presiden RI Prabowo, termasuk ke DPR RI, agar Kasus dugaan “Perampasan” Lahan eks Hotel Pura Jaya ini termasuk kasus-kasus korupsi mafia lahan lainnya di Batam menjadi Atensi Pemerintah Pusat dan cepat terungkap hingga tuntas,”ujarnya.(Tim)

 

 

 

Share.
Leave A Reply