TANJUNGPINANG (HK) – Lucky Omega Hasan, Kuasa Hukum PT. Bintan Properti Indo, mempertanyakan lambatnya proses penegakan hukum dalam kasus dugaan pemalsuan surat yang melibatkan mantan Pj Walikota Tanjungpinang, Kepulauan Riau, Hasan Bin Muljono.
Ia menyayangkan keterlambatan tersebut, yang menurutnya membuat proses hukum terkesan mandek.
“Saya bertindak sebagai kuasa hukum PT. Bintan Properti Indo, pelapor sekaligus korban dalam perkara ini. Saya sangat menyayangkan lambatnya proses penegakan hukum yang melibatkan mantan Pj Walikota Tanjungpinang, Hasan Bin Muljono, terkait dugaan pemalsuan surat atas tanah klien saya yang berlokasi di KM. 23, Kelurahan Sungai Lekop, Kecamatan Bintan Timur, Kabupaten Bintan,” ujar Lucky, kemarin.
Menurutnya, keadilan bagi kliennya terhambat oleh proses yang sangat lambat. Ia menduga hal ini disebabkan oleh kendala administratif yang sebenarnya tidak substansial.
“Salah satu alasan yang muncul adalah permintaan Jaksa Penuntut Umum agar Penyidik Polres Bintan memenuhi dokumen asli SK Gubernur Riau Nomor KPTS.421/VIII/1991, tertanggal 8 Agustus 1991, yang mengatur pencadangan tanah seluas ± 100 hektar di Kecamatan Bintan Timur untuk keperluan industri,” jelasnya.
Ia juga menyebutkan dugaan bahwa proses pidana ditunda karena adanya perkara perdata yang masih berjalan, sebagaimana pernah dikemukakan oleh kuasa hukum Hasan.
Lucky menegaskan bahwa dokumen asli tersebut sebenarnya berada di Pemerintah Provinsi Riau sejak 1991, sebelum pembentukan Provinsi Kepulauan Riau. Namun, ia menekankan bahwa dokumen ini bukan satu-satunya bukti yang diperlukan untuk proses pembuktian.
“SK Gubernur tersebut sudah disalin dan diterima oleh PT. Expasindo Raya, dan klien saya telah memenuhi dokumen terkait,” lanjutnya.
Ia menyayangkan sikap Jaksa Penuntut Umum yang mendesak terpenuhinya dokumen asli sebagai syarat formal administratif yang menurutnya tidak substansial. Hal ini, kata Dr. Lucky, justru memperlambat proses penegakan hukum pidana yang sedang berjalan.
Lebih lanjut, Lucky juga mengkritik argumen yang menyatakan bahwa perkara pidana harus ditunda karena adanya perkara perdata berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 1956. Ia menilai argumen tersebut keliru.
“Perma Nomor 1 Tahun 1956 mengatur internal Mahkamah Agung dalam proses peradilan, dan tidak relevan untuk digunakan pada tahap penyelidikan atau penyidikan yang berada di bawah kewenangan Kepolisian dan Kejaksaan,” tegasnya.
Ia berharap agar Kejaksaan Negeri Bintan mendukung tegaknya hukum pidana di wilayah tersebut dan menghindari adanya persepsi negatif dari publik terkait penundaan proses hukum.
“Semoga keadilan bisa ditegakkan secara objektif demi kepentingan klien saya dan penegakan hukum yang adil,” tutup Dr. Lucky. (r/nel)