Oleh : Prof. Silfia Hanani, M.Si
Sosiolog dan Rektor UIN Bukittinggi
Nampaknya memasuki bulan Ramdhan 2025 ini, beberapa wilayah mengalami hujan rinai dan hujan deras, malah awet susah berhenti.


Hujan tentu nikmat yang tidak tanggung-tanggung di turun kan Tuhan, baik hujannya rinai maupun deras. Semuanya menggembirakan untuk kebutuhan daya ketahanan hidup.
Cobalah jika tidak ada hujan tentu gerasang menerjang, kemarau menghadang dan banyak yang tumbang kekerdilan. Malahan kemarau pun berpegaruh terhadap daya harga pasar kebutuhan kita, sehingga ketika kemarau kita sering mengeluh beberapa kebutuhan pokok melonjak harganya, karena kesuburan alam terganggu jika hujan tak kunjung datang.
Hujan punya multi makna jika kita memperhatikan jenis-jenis hujan yang terkontruksi di alam, pertama ada kontruksi hujan gerimis dimana bulir-bulir air tipis yang jatuh berderai, kadang awet dan kadang-kadang hanya sebentar saja sebagai penyapa kekeringan bumi.
Hujan gerimis menjadi sebuah kedamian penuh persabatan datangnya, karena tidak menghalangi banyak aktifitas manusia, tapi awas juga bisa membawa perubaha terhadap kesehatan bagi yang tak tahan dengan sentuhannya.
Hujan gerimis sering menjadi simbol-simbol dalam banyak karya sastra karena begi indahnya kedatangannya. Bahkan ada judul lagu populer dan melegendaris dari tanah seberang tergubah dengan gerimis ini, seperti Gerimis Mengundang.
Maknanya begitu syahdu, sehingga kesasyahduan itu membuat larut dengan memories masa-masa lalu nan indah. Hampir mirip pula dengan orang Minang mempersonifkasikan gerimis dengan ungkapan pajerotif rinai membasuh luka’ gerimis membasuh luka, karena beigutu menyahdukan makna gerimis itu ternyata.
Jikat melihat gerimis dikilauan lampu temaram, semakin syahdu lagi ia seperti bintang-bintang jatuh berkilau dari langir, senja menjadi bergemilau dan malam pun menjadi indah. Ia tidak berasa tetapi melihatnya penuh dengan makna, gerimis bersahabat dan penuh menawarkan keindahan.
Bulirnya yang kecil melayang-layang seperti salju bergulir tipis, indah memang. Kedatangannya dirindukan dan dambakan.
Gerimis biasanya tak lama, hanya datang sekedar menyapa bumi dalam kesejukan, kadang-kadang tak terhiraukan sudah belalu.
Kadang-kadang tidak sampai membasah secara sempurna, tetapi kedatangannya dimaknai kesejukannya oleh semesta. Malahan semuan tumbuhan merindukannya, tanah menunggu kedatanggan sekalipun sekedar mengusir debu. Kalau begitu gerimis di Ramadhan, menyemangati ibadah puasa.
Namun, berbeda dengan hujan apalagi sudah agak panjang dan lebat terdengar doa mohon jangan berkepanjangan dan tidak deras datangnya. Pada hal, ketika kemarau kita telah sepakat untuk meminta datang hujan melalui shalat minta hujan atau shalat istiqa’.
Sayangnya ketika hujan sudah mendera dengan lebat tidak ada shalat khusus untuk minta hujan berhenti. Ini tentu punya makna luar biasa yang perlu kita ungkit rahasianya.
Di sinilah barangkali ada makna terselib dititipkan Tuhan melalui hujan kepada kita, sehingga tidak ada khusus sholat meminta mohon hujan berhenti seperti sholat minta hujan.
Kini Tuhan menyuruh kita untu memaknai hujan dan kemudian carilah antisipasinya jika hujan itu datang, sehingga tak terjadi mara bahaya.
Manusia sering alpa dan abai saja dengan tindakannya, terutama terkait dengan ekologisnya, sehingga permukaan bumi kadang menjadi rusak sehingga ketika datang hujan menjadi bencana dan petaka.
Lihatlah tata ruangan kita sekarang, jauh dari tataan ekologis yang bisa mencerna hujan, lingkungan kita sudah dijajah oleh sampah yang tidak dikenadilakn, slokan-slokan sudah tersumbat.
Begitu pula dengan hutan sebagai penyimpan hujan, sudah hilang fungsinya. Akhirnya, hujan itu sering menjadi petaka kedatangannya.
Inilah fenomena global kita sekarang, hujan sudah banyak tidak dianggap bersahabat lagi, hujan sudah sering artikan sebagai musuh pada hal ia teman kesimbangan alam ditenga kegersangan, teman kesejatian alam ditengah kemarau dan seterusnya.
Ketidaksiapan dan kehilangan tataruang berkesesuaian dengan keseimbangan, telah menjadikan hujan menjadi petaka, menjadi bencana seperti kita saksikan diawal Ramdhan ini, begitu meluluhlantahkannya saudara-saudara kita di Bekasi.
Semestinya di Ramadhan menikmati dengan penuh suka cita, tetapi dipupuskanya oleh banjir yang begiti dahsyatnya. Rumah mereka tenggelam, kehidupan terperangkap dalam kepungan air hujan yang sudah menggenang sampai menenggelamkan rumah mereka.
Kini mari kita belajar kembali membuang sampah tepat dan benar, belajarlah membersihkan slokan, tanpa ada sumbatan-sumbatan, belajarlah menata lingkungan dengan ekologis bersahabat dengan alam itu sendiri, jangan abaikan hujan akan datang dengan tipologinya sendiri.
Jika kita tidak menjalin persahabatan dengan alam maka hujan akan menjadi ancaman. Ibadah Ramadhan, sebenarnya membawa kita untuk membangun sikap persahabatan dengan alam itu, setidaknya terlihat dari bagaimana kita mengelola diri kita untuk tetap teratur dan menyantuni alam melalui ibada puasa yang mencoba mempuasakan diri dan prilaku tidak semena-mena terhadap alam tersebut.
Mengaja kita untuk berpuasa untuk membuang sampah sembarangnang. Puasa mengajak kita menertibkan hidup penuh dengan kedisiplinan dan setersunya.
Sangat penting adalah, puasa mengajak kita manusia untuk melakukan tindakan keseimbangan terhadap alam, dimana kita menempatkan puasa sebagai kontrol dan mesin pengawas yang mengingatkan untuk tidak meenrobos diluar ketentuan atau sunatullah.
Bahkan puasa menggirin manusia untuk menjadi agent-agent kebersihan yang dimulai dari pembersihan diri, pembersihan pencernaan, perkataan dan prilaku, sehingga ajakan-ajakan dan tutunan puasa ini harus menjadi prilaku kesalehan sosial bagi manusia. (***)