TANJUNGPINANG (HK) – Jaringan Pengawas Kebijakan Pemerintah (JPKP) Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) menilai posisi Wakil Gubernur Nyanyang Haris Pratamura saat ini tak lebih dari simbol kosong di tengah carut-marutnya birokrasi Pemprov Kepri.
Ketua JPKP Kepri, Adiya Prama Rivaldi, menyebut Nyanyang tidak menunjukkan kapasitas sebagai pemimpin yang mampu menyeimbangkan kekuasaan eksekutif, bahkan menyamakan perannya seperti ‘lembu cocok hidung yang hanya tahu membuka acara seremonial’.
Dalam pernyataan tajam yang disampaikan kepada media, Adiya menyoroti kondisi birokrasi Kepri yang makin memprihatinkan pada periode kedua kepemimpinan Ansar Ahmad.
“Ironis, sebagai kader partai besar. sekelas Gerindra, Nyanyang justru tak mampu bersuara ketika pemerintahan di bawah Ansar Ahmad terus melahirkan ketimpangan. Jika terus begini, Kepri lebih baik tanpa wakil gubernur sama sekali,” ungkap Adiya kepada awak media di Tanjungpinang, Minggu (01/06/2025).
Pelantikan Sarat Kepentingan, ASN Berkualitas Justru Disingkirkan
Puncak dari krisis birokrasi yang dimaksud adalah proses pelantikan besar-besaran pejabat eselon 2, 3, dan 4 yang dinilai penuh kepentingan politik dan aroma balas budi.
Menurut Adiya, pelantikan tersebut tidak berpijak pada sistem meritokrasi, tetapi pada afiliasi politik dan loyalitas terhadap lingkaran kekuasaan.
“Kita menyaksikan Kepala Biro Umum justru diangkat menjadi Kepala Bapenda, padahal posisi sebelumnya belum tertangani dengan baik. Biro Umum sendiri dibiarkan kosong. Begitu juga Biro Pemerintahan. Yang menyedihkan, pejabat berkinerja baik seperti mantan Pj. Wali Kota Tanjungpinang malah dinonaktifkan. Ada apa dengan pelantikan ini?” tegas Adiya.
Yang lebih mencengangkan, Wakil Gubernur sempat menyampaikan kepada publik bahwa pelantikan hanya mencakup eselon 2 sebanyak 18 orang.
Faktanya, pelantikan justru mencakup ratusan ASN di eselon 3 dan 4. Ini mengindikasikan bahwa informasi kepada publik tidak transparan, bahkan bisa jadi disengaja untuk menutupi agenda sebenarnya.
ASN Bermasalah Diangkat, Pemerintahan Diarahkan ke Jurang
Dalam daftar pejabat yang dilantik, publik juga dikejutkan dengan nama Hasan, yang dilantik menjadi Kepala Dinas Pariwisata Kepri, meskipun tengah berstatus tersangka kasus pemalsuan dokumen surat tanah. Ini adalah titik nadir birokrasi yang seharusnya menjunjung tinggi integritas dan rekam jejak.
“Mau dibawa ke mana Kepri ini? ASN yang bermasalah justru diangkat ke posisi strategis. Pemerintahan saat ini sudah sangat politis, jauh dari profesionalisme. Wakil Gubernur seharusnya menjadi pengontrol, bukan penonton,” tambah Adiya.
Nyanyang Harus Menjawab, Bukan Diam
Adiya juga mempertanyakan sikap Nyanyang Haris Pratamura yang justru diam seribu bahasa di tengah kegaduhan pelantikan dan ketidakadilan birokrasi.
“Jika Nyanyang tahu dan membiarkan, maka dia adalah bagian dari masalah. Jika tidak tahu, maka dia tidak menjalankan tugasnya. Wakil Gubernur bukan hanya untuk seremoni. Dia punya tanggung jawab konstitusional untuk memastikan jalannya pemerintahan yang adil dan akuntabel.”
Dalam konteks tersebut, JPKP Kepri mendesak agar Nyanyang bersikap terbuka kepada publik: Apakah benar ada janji politik atau balas budi di balik pelantikan massal ini? Apakah jabatan dijadikan alat tukar untuk kepentingan tertentu menjelang tahun-tahun politik?
Menjadi Penyeimbang, Bukan Pelengkap Penderitaan
JPKP Kepri menilai bahwa posisi Wakil Gubernur saat ini berada pada titik kritis: menjadi penyeimbang kekuasaan, atau justru menjadi pelengkap penderitaan rakyat.
Jika tidak mampu menunjukkan keberpihakan pada prinsip keadilan birokrasi dan profesionalisme ASN, maka Wagub Nyanyang sebaiknya mengevaluasi diri atau mengundurkan diri dari jabatan.
“Diam di atas ketidakadilan adalah bentuk pengkhianatan terhadap rakyat. Jangan jadikan Kepri sebagai laboratorium politik murahan. Kami meminta DPRD ikut mengevaluasi kinerja eksekutif, termasuk peran Wakil Gubernur yang semakin tak terlihat,” tegas Adiya.
Kepri di Persimpangan Jalan
Pemerintah Provinsi Kepri hari ini berada di persimpangan: membenahi diri dan membangun sistem yang berintegritas, atau tenggelam dalam praktik kekuasaan yang elitis dan transaksional. Publik membutuhkan pemimpin, bukan boneka kekuasaan.
Jika pelantikan hari ini adalah hasil politik balas budi, maka jabatan telah menjadi komoditas, dan rakyat hanya dijadikan objek pencitraan.
“Kepulauan Riau bukan panggung untuk drama politik. Ini tanah rakyat, dan kekuasaan semestinya dijalankan untuk kemaslahatan semua, bukan kelompok tertentu saja,” pungkasnya (red)