Hardiansyah Fadli
Pengamat Pemilu dan Demokrasi
TIDAK terasa dua tahun lagi Pemilu serentak 2024 akan digelar. Pemilu kali ini berbeda dengan Pemilu sebelumnya. Pemilu dan Pilkada akan digelar pada tahun yang sama. Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden akan dilaksanakan pada tanggal 14 Februari 2024, sedangkan Pemilihan Kepala Daerah dilaksanakan pada tanggal 27 November 2024.
Pemilu 2024 dinilai akan sangat kompleks, mengingat tahapan Pemilu dan Pilkada akan beririsan. Tentu dibutuhkan kesiapan dari sisi penyelenggaraan maupun regulasi yang akan melegitimasi setiap tahapan.
Diantara kesiapan yang harus didorong adalah peningkatan parisipasi masyarakat. Kesuksesan Pemilu tidak dapat terwujud kalau hanya bergantung kepada Penyelenggara Pemilu saja. Dibutuhkan partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan Pemilu.
Setidaknya ada tiga upaya yang dapat ditempuh oleh Penyelenggara Pemilu untuk menggenjot partisipasi masyarakat. Pertama melalui sosialisasi kepada masyarakat tentang tahapan Pemilu. Kedua melalui debat publik, dimana Komisi Pemilihan Umum menyiapkan panggung bagi peserta Pemilu untuk beradu visi dan misi. Dan ketiga melalui kampanye yang dilakukan oleh peserta Pemilu.
Kampanye merujuk pada pasal 1 ayat 21 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum merupakan kegiatan Peserta Pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu untuk menyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program, dan/atau citra diri Peserta Pemilu. Kampanye dalam teknis pelaksanaannya diatur oleh regulasi agar proses kampanye berjalan secara konstitusional.
Salah satu kampanye yang dianggap tabu dalam regulasi dan diskursus Pemilu adalah kampanye di Perguruan Tinggi. Beberapa waktu belakangan, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy’ari mengemukakan wacana kampanye di kampus. Perguruan Tinggi diusulkan agar dapat dijadikan arena kampanye bagi peserta Pemilu.
Menurut Hasyim, kampanye di Perguruan Tinggi sesungguhnya dibolehkan oleh regulasi, sebagaimana penjelasan Pasal 280 ayat 1 point H Undang-undang Pemilu Tahun 2017 yang bunyinya, “Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan ”.
Penjelasan ini penting dipahami sebagai uraian dari pasal 280 ayat 1 Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pada pasal tersebut disebutkan: “Pelaksana, peserta, dan tim kampanye Pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”.
Meminjam perspektif Prof. Dr. M. Noor Harisudin Ketua PP Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara mengungkapkan bahwa larangan dalam Pasal 280 ayat 1 Undang-Undang Pemilu seharusnya dibaca kembali dengan penjelasannya sekaligus agar kita tidak salah memahami larangan kampanye di kampus. Artinya kampanye di Perguruan Tinggi dibolehkan selagi ada syarat-syarat yang harus dipatuhi oleh peserta Pemilu. Syarat-syarat tersebut diatur lebih lanjut oleh regulasi.
Di sisi lain, Komioner Bawaslu RI Puadi memiliki pandangan berbeda terkait tentang wacana kampanye di Perguruan Tinggi. Menurut Puadi, kampanye di lembaga pendidikan dilarang.
Sama halnya dengan larangan kampanye di tempat ibadah. Artinya Bawaslu memiliki tafsir berbeda terhadap ketentuan Pasal 280 ayat (1) huruf H Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Bagi Bawaslu, larangan itu tertulis secara eksplisit, dan bagi yang melanggar, maka diancam dengan pidana paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta”.