David Krisna Alka
Deklarator Jaringan Intelektual Berkemajuan (JIB)
ADA cerita di penghujung era Orde Baru. Saat itu, guru bangsa dari Nahdlatul Ulama, KH Abdurrahman Wahid, ditanya wartawan. “Gus, jika kemajuan demokrasi kita dianalogikan dengan menempuh perjalanan kereta api dari Jakarta ke Surabaya, kita sudah sampai di mana sekarang?” tanya sang wartawan. “Kita sampai di Bekasi gitulah,” kata Gus Dur enteng.
Ya, sebagai sebuah bangsa, Indonesia tak hadir secara tiba-tiba. Ada kompromi panjang yang cukup melelahkan, yang telah dilakukan para pendiri bangsa kita. Hal ini tidak terlepas betapa rentang demografis kita begitu beragam secara etnik, budaya, serta agama.
Karena kesadaran akan kemajemukan itu, bangsa ini kemudian bersepakat memilih demokrasi atau kedaulatan rakyat, sebagai platform kebersamaan. Demokrasi menjadi jalan tengah untuk mengakomodasi perbedaan-perbedaan itu semua. Lalu, sudah sampai mana demokrasi kita hari ini. Apakah benar baru sampai di Bekasi?
Cendekiawan bangsa yang belum lama ini berpulang, Azyumardi Azra (1955-2022), pernah mengatakan di tengah situasi demokrasi yang the winner takes it all dan belum juga terkonsolidasi, pertanyaan sama kembali mencuat, kereta demokrasi kita sudah sampai di manakah sekarang?
Secara global, perkembangan demokrasi sedang tidak baik-baik saja. Data beberapa lembaga pemeringkat demokrasi menunjukkan bahwa beberapa tahun terakhir dunia memasuki masa suram, masa kemunduran. Indonesia, dalam konteks regional Asia Tenggara, disebut jauh lebih baik. Posisinya bisa dibandingkan dengan apa yang terjadi sekarang di Myanmar, Thailand, Singapura, atau Malaysia.
Indonesia dianggap sebagai negara demokrasi paling akhir yang masih bertahan. Namun, tantangan ke depan masih begitu berat, apalagi sekarang, Pemilu 2024 sudah dekat. Pemilu ialah tahun-tahun waktu potensi polarisasi akibat pilihan politik masih akan terjadi.
Dalam bukunya Fugitive Democracy: And Other Essays, Profesor Ilmu Politik Sheldon Wolin menulis, “Democracy is too simple for complex societies and too complex for simple ones”. Sebagai negara demokrasi terbesar ke-3 di dunia, Indonesia memang rumit.
Pekerjaan rumah kita masih banyak. Pemilu yang seharusnya benar-benar menjadi pesta demokrasi rakyat karena kuasa hak politiknya, ternyata hanya pesta bagi segelintir elite dan demi kepentingan elektoral semata.
Begitu pun, budaya patuhhukum di negeri ini yang masih rendah. Tidak saja itu. Keadilan menjadi barang mahal, seperti banyak orang bilang, “tajam ke bawah tumpul ke atas”. Peristiwa terakhir bahkan dipamerkan para penegak hukum dan juga petinggi kampus, tempat peradaban kebangsaan dibangun.
Perilaku minus-teladan seperti ini tidak saja mengancam demokrasi, bahkan secara serius bisa menggagalkannya. Ditambah praktik dehumanisasi kepada sesama warga negara tampak dipertontonkan. Lantas, pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana kebijakan publik bisa dilahirkan dari situasi seperti ini?
Para elite perlu surplus moral yang tinggi, untuk menjadi teladan dan kesediaan bekerja sama dalam keberagaman. Partisipasi dalam politik ialah sesuatu yang penting dalam pengertian tentang warga negara, dan kehidupan polis seperti yang digaungkan Aristoteles, “Karena jika kebebasan dan kesamaan, seperti dipikirkan orang ditemukan dalam demokrasi, maka keduanya akan lebih gampang diperoleh, ketika semua orang mengambil bagian dalam pemerintahan.”
Demokrasi tidak hanya perayaan pemilu atau hura-hura elite politik dan alat kelengkapannya. Pelaksanaan demokrasi juga menghasilkan kebijakan publik yang banyak ditentukan para pemimpin organisasi politik yang berkelindan dengan kelompok kepentingan yang tampil secara kompetitif.
Demokrasi seharusnya menyediakan lingkungan utama untuk perlindungan bagi warga negara dan realisasi penegakan hak asasi manusia. Demokrasi bukan romantika ideal yang otomatis timbul ketika dipilih. Ia harus diperjuangkan.
– Demokrasi berkemajuan
Suatu hari, guru bangsa Ahmad Syafii Maarif berujar, “Berkali-kali saya katakan elite politik harus naik kelas, jangan berhenti sebagai politikus, tetapi negarawan dan itu belum terjadi di Indonesia. Ada tetapi jumlahnya kecil, gelombang besarnya masih menjadi politikus saja.”
Selanjutnya, Buya Syafii menuturkan bersikap kenegaraan agar dapat memikirkan bangsa Indonesia ini untuk bisa bertahan sampai ratusan tahun yang akan datang. Terkait dengan hal tersebut, Muhammadiyah sebagai organisasi yang telah berdiri lebih dari 100 tahun untuk terus membangun peradaban yang berkemajuan, dengan turut menyelesaikan persoalan bangsa dan menciptakan keadaban demokrasi. Salah satu peran strategis Muhammadiyah ke depan dengan visinya Islam Berkemajuan.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dalam Konsolidasi Nasional Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik yang berlangsung pada 16-18 September 2022 di Magelang, mengatakan, “Kita harus berperan bagaimana agar proses demokrasi ini berjalan secara substantif, mengikuti sistem yang betul akuntabel, kemudian juga sistem yang membawa pada prinsip-prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi lebih baik”.
Alhasil, Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Surakarta yang berlangsung 18-20 November 2022 melahirkan gagasan demokrasi berkemajuan dan menggerakkan kader-kader persyarikatan dalam mewujudkan demokrasi berkeadaban. Demi Indonesia, Muhammadiyah akan memajukan demokrasi Indonesia dan mencerahkan semesta. Semoga.***