BATAM (HK) – Lima orang tersangka penyalur pekerja migran non prosedural (Ilegal), kembali dibekuk Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Kepulauan Riau.
Seorang diantaranya Warga Negara Asing (WNA), asal Malaysia, sebagai penyalur.
Direktur Reskrimum Polda Kepri Kombes Pol. Dony Alexander mengatakan bahwa, penangkapan warga negara Malaysia berinisial ZA (43), karena diduga melakukan tindak pidana merekrut tenaga kerja migran Indonesia (PMI), secara non prosedural atau ilegal.
“ZA merekrut PMI non prosedural merupakan modus baru, dengan cara tersangka turun langsung mencari calon pekerja untuk dipekerjakan di restoran miliknya.
Kemudian, mereka melakukan pengurusan dokumen hingga pemberangkatan PMI ke luar negeri, tanpa melengkapi persyaratan,” kata Kombes Donny, didampingi Kabidhumas Polda Kepri, Kombes Pol Zahwani Pandra Arsyad.
Diterangkannya, tersangka ZA ditangkap berdasarkan hasil laporan polisi yang diterima jajaran Ditreskrimum Polda Kepri selama periode Agustus hingga Oktober, terdapat empat laporan kepolisian dengan lima korban PMI non prosedural dan 5 orang tersangka.
“Selain tersangka ZA, selama periode tersebut Ditreskrimum Polda Kepri menangkap empat tersangka pengiriman PMI nonprosedural melalui Kepri, masing-masing berinisial YU (47), NS (46), RC (41), dan NW (30), warga negara Indonesia,” papar Ditreskrimum Polda Kepri.
Diterangkan, adapun korban yang diselamatkan dari pengiriman PMI non prosedural, berinisial L, asal Pekanbaru, K, asal Bengkulu, N, asal Banyuwangi, M, asal Gresik dan DF, berasal dari Jakarta.
“Tersangka ZA dan empat tersangka itu, tidak memiliki keterkaitan. Tapi kami sedang dalami, apakah kasus ini merupakan suatu jaringan, dan sudah berapa kali mereka merekrut PMI nonprosedural ini,” kata Dony.
Kombes Dony menyebutkan, para korban tergiur untuk ikut pekerja dengan ZA ke Malaysia, karena dijanjikan bekerja di restoran miliknya dengan gaji 2.000 Ringgit Malaysia (RM).
Dari pendalaman pihaknya terhadap lima pelaku, diketahui para pelaku menggunakan beberapa modus baru. Mulai dari pemalsuan identitas calon PMI hingga metode keberangkatan.
“Modus baru ada beberapa beberapa pemalsuan dokumen seperti KTP. Dulu mereka berangkat berkelompok. Sistem mereka saat bergerak sendiri berdua, dengan identitas palsu,” ujarnya.
Dari pemeriksaan polisi, para pelaku mengaku mengambil keuntungan dari para korban setelah mereka bekerja. Para calon PMI Ilegal yang direkrut para pelaku rencananya akan dipekerjakan sebagai asisten rumah tangga hingga buruh perkebunan.
“Para pelaku ini mengambil keuntungan dari para korban ketiak mereka bekerja di Malaysia. Nantinya ada potongan dari gaji yang diterima,” pungkasnya.
Sementara itu Kepala Balai Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Kombes Pol. Iman Riyadi mengapresiasi keberhasilan Polda Kepri dalam mengungkap kasus pengiriman PMI nonprosedural atau tindak pidana perdanagan orang (TPPO) di wilayah tersebut.
Menurut dia, jajaran kepolisian dari tingkat polres dan polsek di wilayah hukum Kepri masih terus melakukan pengungkapan kasus TPPO atmaupun pengiriman PMI nonprosedural.
Menurut dia, kehadiran warga negara asing langsung untuk merekrut pekerja Indonesia menunjukkan bahwa modus operandi berkembang terus.
“Tentunya kepolisian dan stakeholders lainnya jangan sampai kalah dengan modus-modus baru TPPO dan pengiriman pekerja migran ilegal ini. Pengungkapan ini bentuk kehadiran negara dalam melindungi pekerja migran agar tidak tereksploitasi di luar negeri,” kata Iman.
BP3MI Kepri, pungkasnya, mencatat selama 2024 (Januari-Oktober) sudah menerima 2.036 orang PMI yang dideportasi dari Malaysia. Rencananya akan ada lagi 88 PMI lagi yang dideportasi dari Malaysia.
Atas penindakkan pengiriman PMI Ilegal itu, para tersangka dijerat dengan Pasal 81, juncto Pasal 69 atau Pasal 83, juncto Pasal 68 Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2017, tentang perlindungan pekerja migran Indonesia.
Hal itu sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023, tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022, tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, dengan ancaman paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp15 miliar. (r/nov)