Menu

Mode Gelap
Peringati Hari Nusantara, DPC HNSI Kepulauan Anambas Bagikan Makanan Bergizi Gratis di SDN 004 Genting AWe Hentikan Gugatan Ke MK, Nizar-Novrizal Sah Pemenang Pilkada Lingga 2024 Laksanakan Arahan Presiden, Kepala BP Batam Efisiensikan Anggaran 2025 Kejar Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen, BP Batam Prioritaskan Pengembangan Kawasan Strategis DKP Kepri – Traveloka dan CARE Indonesia Proteksi Ekosistem Mangrove di Pulau Bintan Melalui Pemberdayaan Kelompok Perempuan Pria Lansia Ditemukan Tewas di Bengkel Alat Berat di Kijang Bintan

OPINI

Menjadi Guru Besar itu Mudah

badge-check


					Sutawi Guru Besar Universitas Muhammadiyah Malang. Perbesar

Sutawi Guru Besar Universitas Muhammadiyah Malang.

Oleh : Sutawi Guru Besar Universitas Muhammadiyah Malang

Statistik Pendidikan Tinggi 2020 mencatat hanya 6.625 (2,12%) dari total 312.890 dosen di Indonesia yang bergelar profesor. Jumlah tersebut jauh lebih rendah dibanding jumlah ideal profesor di Indonesia sebanyak 10%. Setiap dosen seharusnya bercita-cita menjadi guru besar, tetapi kenyataannya tidak demikian. Banyak dosen, yang meskipun sudah mendekati usia purna tugas masih berpendidikan magister (S2).

Banyak pula dosen yang sudah berpendidikan doktor (S3) dan pada jabatan Lektor Kepala, tetapi enggan menulis jurnal internasional bereputasi sebagai syarat utama pengajuan Guru Besar. Padahal, posisi dosen bergelar doktor yang menjabat Lektor Kepala untuk menjadi Guru Besar itu ibarat pemain sepakbola yang akan “menendang bola penalti”, tinggal satu tendangan (tahapan) saja.

Berdasarkan motivasinya, dosen PT di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi enam (Sutawi, 2006). Pertama, dosen akademis. Dosen kelompok ini aktif mengumpulkan prestasi-prestasi akademis, sehingga kepangkatan dan jabatan fungsionalnya cepat naik dan berhasil menjadi guru besar pada usia relatif muda (sebelum 50 tahun).

Kedua, dosen politis yang senang mengejar jabatan-jabatan struktural baik di lingkungan perguruan tinggi maupun di luar kampus. Dosen kelompok ini merasa terhormat jika memegang jabatan struktural. Ketiga, dosen sosialis yang menjadikan profesi dosen sebagai status sosial yang bergengsi di masyarakat. Umumnya dosen sosialis telah memiliki status ekonomi yang mapan dari sumber pendapatan lain yang lebih banyak, sehingga yang mereka butuhkan adalah status sosial.

Keempat, dosen kapitalis yang berusaha memperbanyak kekayaan finansialnya baik melalui kegiatan akademis, politis, maupun bisnis, dengan memanfaatkan nama PT-nya. Tidak jarang mereka juga melakukan kegiatan bisnis dengan/dan di lingkungan PT-nya. Kelima, dosen selebritis yang pandai menganalisis fakta dan mengolah kata-kata, serta sering tampil di berbagai media diskusi, debat publik, seminar, talk show, dan sejenisnya.

Keenam, dosen agamis yang menjadikan profesi dosen demi pengabdian dan ibadah kepada Tuhan. Aktivitas utama mereka adalah mengajar demi mengejar pahala surga. Dari keenam kelompok dosen tersebut, dosen akademislah yang paling mudah didorong dan diharapkan menjadi guru besar.

Kesulitan utama yang dihadapi dosen dalam mengajukan jabatan guru besar adalah persyaratan menulis minimal satu artikel di jurnal internasional bereputasi. Menurut Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit (PO PAK) 2019, jurnal internasional bereputasi adalah jurnal terindeks dalam basis data internasional bereputasi yang diakui oleh Kemenristekdikti (Web of Science dan/atau Scopus) dengan SJR jurnal di atas 0,10 atau memiliki JIF WoS paling sedikit 0,05.

Menurut informasi, lebih dari 90% pengajuan guru besar dinyatakan gagal karena tidak memenuhi syarat jurnal internasional bereputasi. Kesulitan tersebut kemudian menimbulkan tudingan ada kartel gelar profesor di Kemendikbudristek, sehingga seorang dosen UI yang gagal memperoleh gelar profesor terpaksa menggugat ke MK pada Februari 2022 lalu. Kesulitan itu juga memunculkan ungkapan, “Lebih mudah masuk surga daripada menjadi guru besar di Indonesia,” di kalangan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (Syahputra, 2022).

Berbeda dengan pengalaman dosen yang gagal mencapai guru besar, atau yang berhasil mencapai guru besar dalam beberapa tahun, saya merasa meraih jabatan guru besar itu mudah, murah, dan cepat. Setelah lulus pendidikan S3 pada 2012 di Universitas Brawijaya, saya mengalami masa dorman menulis selama 6 tahun sampai 2018.

Pada Juni 2019 saya berhasil memublikasikan satu artikel di Journal of the Indonesian Tropical Animal Agriculture (JITAA) yang terindeks Scopus Q3 dengan SJR 0,23, disusul satu artikel di Tropical Animal Science Journal (TASJ) yang terindeks Scopus Q2 dengan SJR 0,39 pada September 2020, dan satu artikel di Livestock Research for Rural Development (LRRD) yang terindeks Scopus Q4 dengan SJR 0,22 pada November 2020.

JITAA dan TASJ merupakan jurnal internasional bereputasi yang diterbitkan oleh PT di Indonesia, masing-masing Undip dan IPB, sedangkan LRRD diterbitkan oleh Center for Research on Sustainable Systems of Agricultural Production (CIPAV) di Colombia. Proses penerimaan sampai publikasi di JITAA dan TASJ antara 6 bulan sampai 12 bulan, sedangkan di LRRD hanya 3 bulan. Biaya publikasi (publication charge) di JITAA dan TASJ antara Rp 2-4 juta, sedangkan LRRD tanpa biaya alias gratis (no publication charges).

Berbekal persyaratan khusus berupa tiga jurnal internasional tersebut dan ditambah persyaratan lain sesuai PO PAK 2019, saya mengajukan kenaikan jabatan dari Lektor Kepala (700 angka kredit) ke Guru Besar (850 angka kredit) sebanyak 462,90 angka kredit. Setelah dinilai oleh Tim PAK DIKTI, angka kredit tersebut diterima sebanyak 169,90 (37%), sehingga saya dinyatakan dapat diangkat dalam jabatan akademik/fungsional dosen sebagai Guru Besar/Profesor (Pembina Utama Madya, Golongan IV-d) dengan angka kredit 869,90.

Proses pemberkasan memerlukan waktu 2 bulan (Desember 2020-Januari 2021), penilaian PT 1 bulan (Maret 2021), penilaian LLDIKTI 6 bulan (April-September 2021), penilaian DIKTI sampai terbit SK Guru Besar selama 3 bulan (Oktober-Desember 2021). Total waktu pemberkasan sampai terbit SK Guru Besar selama 13 bulan ini tergolong sangat cepat. Jika dosen lain merasa “berdarah-darah” (banyak pengorbanan waktu, tenaga, dan biaya) dalam mengurus jabatan guru besar, saya merasa “tidak terluka sedikit pun” (sangat mudah, murah, dan cepat).

Kunci sukses meraih jabatan guru besar secara mudah, murah, dan cepat adalah pemilihan jurnal internasional bereputasi. Sebagai dosen yang menempuh pendidikan S1, S2, dan S3 di dalam negeri, saya sengaja menghindari jurnal internasional di negara-negara maju (Eropa, Amerika Serikat, Kanada, dan Australia) yang mempersyaratkan artikel dengan tata bahasa Inggris yang berkualitas tinggi dan berbayar sangat mahal (Rp 30-50 juta).

Saya sengaja memilih jurnal internasional di Indonesia dan negara berkembang yang mempersyaratkan tata bahasa Inggris yang berkualitas sedang dan berbayar murah (di bawah Rp 4 juta), bahkan gratis. Proses penerjemahan artikel pun tidak memerlukan joki atau penerjemah berbayar mahal, cukup menggunakan fasilitas yang ada di internet, seperti google translate, bing translator, grammarly, spellcheck, paraphrase, dan sejenisnya. Satu hal yang tidak kalah penting adalah banyak berdoa, karena keberuntungan itu diberikan kepada hamba-Nya yang sering menyebut nama-Nya dan mendekat kepada-Nya

Tinggalkan Balasan

Baca Lainnya

MAHASISWA DAN PILKADA: Peran, Tantangan, dan Harapan

22 November 2024 - 11:23 WIB

PARADOKS STANDARISASI PENDIDIKAN PNS: ANTARA IDEALISME DAN REALITAS DAERAH 3T

15 November 2024 - 10:34 WIB

RESEP HIDUP BAHAGIA

15 November 2024 - 10:30 WIB

Maju Bersama Indonesia Raya

29 Oktober 2024 - 12:06 WIB

Bermata Tapi Tak Melihat

29 Oktober 2024 - 11:58 WIB

Trending di BATAM