OPINI, by : Sunia Rizki Aulia
TANJUNGPINANG (HK) – Dalam dunia pendidikan, keberhasilan akademik sering kali dianggap sebagai tolak ukur kesuksesan seorang siswa. Gelar “juara kelas” atau “siswa berprestasi” menjadi kebanggan bagi sekolah, orang tua, dan masyarakat. Tapi, dibalik prestasi yang dicapai ada sisi lain yang jarang dibicarakan, yaitu tekanan yang berlebihan. Pertanyaannya, apakah sistem pendidikan yang terlalu menuntut prestasi justru membuat depresi siswa?
Saat ini, beban akademik semakin berat bagi siswa. Mereka harus menghadapi tuntutan nilai tinggi, persaingan yang ketat, dan ekspektasi tinggi dari orang tua maupun guru. Lebih dari itu, sistem pendidikan yang berfokus pada ujian dan peringkat sering kali membuat belajar kehilangan maknanya. Alih – alih menikmati proses belajar, banyak siswa justru takut gagal. Ditambah pemikiran yang beredar dimasyarakat bahwa hanya kesuksesan akademiklah yang bisa membuat siswa meraih masa depan cerah. Orang tua juga sering kali berharap anaknya selalu menjadi yang terbaik, tanpa benar – benar mengerti minat serta potensinya. Akibatnya, banyak siswa merasa tidak cukup baik jika mereka tidak bisa memenuhi ekspektasi tersebut.
Tekanan akademik yang berlebihan bisa berdampak buruk pada kesehatan mental siswa. Stress, kecemasan, dan bahkan depresi bukan lagi hal asing bagi mereka yang terus menerus diberi tekanan. Beberapa mengalami gangguan tidur, kehilangan motivasi, dan yang paling mengerikan sampai berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Penelitianpun menunjukkan bahwa siswa yang mengalami tekanan akademik tinggi cenderung memiliki tingkat kecemasan lebih besar dibandingkan mereka yang belajar tidak dibawah tekanan. Artinya, sistem pendidikan yang terlalu kompetitif bisa menjadi ancaman serius bagi kesejahteraan mental siswa.
Pendidikan seharusnya tidak hanya soal angka dan peringkat, tetapi juga tentang pengembangan karakter, kreativitas, dan kebahagiaan siswa. Sistem yang baik adalah yang mampu menyeimbangkan prestasi akademik dengan kesehatan mental. Orang tua dan guru perlu menyadari bahwa setiap anak memiliki keunikan yang berbeda – beda. Mereka tidak harus selalu menjadi juara kelas untuk bisa sukses dimasa depan. Yang lebih penting adalah bagaimana mereka diberi ruang untuk berkembang sesuai dengan minat dan potensinya, tanpa tekanan berlebihan.
Di beberapa negara maju, konsep pendidikan berbasis kebahagiaan mulai diterapkan. Finlandia, misalnya, mengutamakan keseimbangan antara belajar dan bermain, serta memberi kebebasan bagi siswa untuk mengeksplorasi minat mereka. Hasilnya? Mereka tetap berprestasi dan tidak membuat depresi.
Beprestasi memang kebanggaan, tapi kebahagiaan dan kesehatan mental jauh lebih berharga. Sudah saatnya kita mengevaluasi sistem pendidikan agar tidak hanya menghasilkan siswa berprestasi, tetapi juga siswa yang Bahagia dan percaya diri menghadapi masa depan. Sebab, apa artinya prestasi jika membuat depresi? (**)
Sunia Rizki Aulia
Prodi Pendidikan Matematika
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Maritim Raja Ali Haji