Pengaruh Sambo di Polri Diduga Masih Kuat.
JAKARTA (HK) – Pakar Hukum Pidana Trisakti, Abduk Fickar Hadjar mengatakan penahanan terhadap seorang tersangka suatu tindak pidana merupakan hak prerogatif penyidik.
Hal ini pun kata dia, berlaku juga kepada Putri Candrawathi yang tak kunjung ditahan. “Penahanan itu kewenangan subjektif penyidik dan penuntut umum,” kata Fickar, Rabu (31/8).
Fickar menjelaskan, penahanan terhadap tersangka umumnya dilakukan karena kekhawatiran penyidik bahwa tersangka akan melarikan diri. Kemudian tersangka juga dikhawatirkan akan merusak atau menghilangkan barang bukti, serta ancaman hukuman di atas 5 tahun.
“Kriteria itu alternatif penggunaannya. Jadi jika PC belum ditahan artinya belum ada kekhawatiran seperti yang disebutkan, meskipun ancaman hukumannya 5 tahun ke atas,” jelas dia.
Sebagaimana diketahui, Putri Candrawathi menjadi salah satu tersangka dalam kasus tewasnya Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J. Ia terancam Pasal pembunuhan berencana bersama suaminya, Irjen Ferdy Sambo, Bharada Richard Eliezer, Bripka Ricky Rizal, dan Kuat Ma’ruf.
Peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) bidang kepolisian Bambang Rukminto menduga, pengaruh Irjen Ferdy Sambo masih kuat di institusi Polri.
Ini tampak dari belum ditahannya istri Sambo, Putri Candrawathi, kendati sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
“Pengaruh FS (Ferdy Sambo) masih kuat di internal sehingga banyak yang masih enggan untuk menahan istrinya,” kata Bambang, Senin (29/8).
Bambang juga menduga, Putri tak kunjung ditahan karena empati polisi terhadap perempuan, utamanya seorang Bhayangkari. Menurut Bambang, belum ditahannya Putri membuktikan bahwa azas persamaan di hadapan hukum atau equality before the law belum sepenuhnya diterapkan di Polri.
Sebab, dari lima tersangka kasus pembunuhan berencana Brigadir J, hanya Putri yang belum ditahan. Padahal, kelima tersangka dijerat pasal yang sama soal dugaan pembunuhan berencana yang termaktub dalam Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 dan Pasal 56 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
“Bila azas persamaan di mata hukum itu benar-benar dilaksanakan oleh polisi sebagai penegak hukum, tentunya tersangka juga diberikan hak dan perlakuan yang sama dengan tersangka-tersangka lain,” ujar Bambang.
Namun demikian, lanjut Bambang, faktor-faktor tersebut bersifat asumtif. Di luar itu, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) membolehkan adanya diskresi terkait penahanan tersangka.
Secara normatif, memugkinkan tersangka tidak ditahan karena alasan subjektif penyidik. “Misalnya tersangka tidak akan menghilangkan barang bukti, tidak akan melarikan diri, dan sebagainya,” kata dia. (dbs)
Sumber: Republika/Kompas