DALAM sebulan terakhir, lima kasus bullying menyita perhatian publik. Kasus pertama terjadi di Binus Scholl, Serpong, di mana seorang siswa mengalami pemukulan oleh teman-temannya hingga dirawat di rumah sakit. Sementara itu, kasus kedua terjadi di Gunung Kidul Yogyakarta, yang korbannya mengalami patah jari kelingking karena dianiaya temannya. Dua kasus terjadi di Pondok Pesantren di Kediri dan Lampung, pelakunya adalah santri senior dan dua korbannya meninggal dunia. Kemudian satu kasus lagi terjadi di Batam yang korbannya adalah dua anak perempuan.
Rentetan kasus bullying yang terjadi selama dua minggu terakhir menunjukan bahwa
aksi bullying masih marak terjadi. Dan ia juga akan masih terus terjadi. Itu artinya, anak-anak di sekitar kita tidak terjamin keamanannya. Bisa jadi, suatu hari, yang menjadi korban bullying itu adalah orang-orang sekitar kita atau mungkin saudara kita.
Kejadian bullying yang terus berulang ini menjadi tanda bahwa ada akar yang lebih kuat dan penting yang belum diputus dalam penanganan kasus bullying. Akar itu masih hidup dan terpelihara. Sehingga kasus bullying yang satu hilang, muncul kasus bullying yang lain.
Salah satu akar yang mengekalkan aksi bullying itu seringkali terletak pada budaya kekerasan yang sudah melembaga di masyarakat. Ia mencakup sistem kepercayaan, nilai-nilai, norma-norma dan kebiasaan yang menganggap kekerasan sebagai sesuatu yang biasa. Sumber ini tidak berada di luar diri seseorang, melainkan melekat dalam diri masing-masing kita. Ia tergurat dalam sistem ingatan kolektif anggota masyarakat, yang kapan saja bisa dibangkitkan saat seseorang menemukan stimulus pemicu yang sesuai.
Budaya kekerasan inilah yang merupakan muasal dari berbagai jenis kekerasan lazim terjadi. Ia merupakan sumber dari aksi tawuran antar pelajar, bentrok antar suporter, kekerasan dalam rumah tangga, atau kekerasan terhadap anak dan perempuan. Ia juga merupakan faktor utama dari beragam jenis ujaran kebencian di dunia maya yang marak
terjadi.
Bila ia diperkuat dukungan lingkungan sosial tempat hidup seseorang, kultur demikian akan menguat. Dan ia menjadi semacam template atau referensi ketika orang-orang berinteraksi secara sosial. Ia bersifat laten, namun situasi lingkungan sementara dapat memicu atau membangkitkan ingatan tentang kekerasan itu, dan ia dapat mewujud
dalam perilaku, baik kolektif maupun individual.
Sayangnya, karena budaya kekerasan ini entitas yang tidak terlihat, orang kerap mengabaikannya. Bahkan orang cenderung menganggap ia tidak ada. Karenanya, dalam banyak kesempatan, secara tidak sadar orang turut merawat dan memelihara kultur kekerasan ini. Menjaganya kekerasan itu pikiran, perilaku, kebiasaan dan wacana dalam kehidupan sehari-hari.
Budaya kekerasan itu terus berputar sebagai lingkaran setan. Meskipun tidak nampak, sebenarnya wujudnya yang sumir dapat kita lihat pada wacana publik sehari-hari. Misalnya, ia secara samar atau terang-terangan muncul di media sosial atau hiburan. Di media hiburan, misalnya dalam game, film atau sinetron yang berbau kekerasan. Di media sosial, misalnya ia tampil dalam beragam agresi verbal oleh netizen.
Bahkan dalam ajaran atau lembaga agama yang suci sekalipun, kekerasan masih dapat menyusup dan bekerja. Apalagi dalam pranata-pranata budaya sosial sehari-hari buatan manusia. Ia sangat mudah berkecambah, karena kerapkali kehadirannya dijustifikasi oleh tokoh-tokoh kunci institusi.
Kekerasan seringkali terjadi di ruang sosial terkecil yang seharusnya menjadi tempat yang aman, yaitu dalam lingkup rumah tangga. Data dari SIMFONI PPA selama tiga tahun terakhir menunjukkan bahwa lebih dari 50% kasus kekerasan terjadi di rumah tangga.
Pada tahun 2022, terdapat 27.593 kasus kekerasan, dengan 16.902 di antaranya terjadi di rumah tangga. Pada tahun 2023, jumlah kasus kekerasan meningkat menjadi 29.883, dengan 18.007 kasus yang terjadi di rumah tangga. Hingga Februari 2024, tercatat 3.241 kasus kekerasan, dan 2.028 di antaranya terjadi di rumah tangga.
Dalam konteks rumah tangga, kekerasan seringkali dilakukan atas nama pengasuhan. Beberapa orang tua menggunakan kekerasan sebagai bentuk pendisiplinan terhadap anak-anak. Fenomena ini tercermin dalam laporan Global Report 2017: Ending Violence in Childhood. Menurut penelitian lembaga ini, sekitar 73,3% anak di Indonesia pernah mengalami pendisiplinan dengan cara kekerasan, baik itu secara psikis maupun fisik, di lingkungan rumah.
Selain itu, kekerasan sering kali dipelihara di berbagai institusi dalam rangka ketertiban, pendisiplinan, peningkatan kinerja, pemeliharaan loyalitas, ujian komitmen, dan alasan lainnya. Kekerasan ini umumnya terjadi di lingkungan tempat kerja atau di institusi pendidikan khusus. Beberapa kali kita mendengar berita tentang kasus kekerasan yang
menimpa seseorang ketika sedang menjalani pelatihan di suatu lembaga atau organisasi tertentu.
Budaya kekerasan juga terpelihara dalam hubungan pertemanan. Data SIMFONI PPA menunjukan bahwa teman merupakan salah satu pelaku yang banyak melakukan kekerasan. Ini juga menunjukan bahwa kultur kekerasan terpelihara dalam interaksi sosial sehari-hari. Kekerasan bukan hal yang jauh dari kita, melainkan sesuatu yang
sering kita hadapi.
Ada beragam cara untuk menyudahi kekerasan itu. Salah satu yang bisa dilakukan adalah gerakan penyadaran masyarakat. Masyarakat secara bersama-sama perlu menyadari dan memahami bahwa kekerasan dalam beragam bentuk dan levelnya bukan perilaku yang baik dan tidak pantas untuk dibiasakan. Selain ia juga berbahaya.
Kedua, harus ada sanksi yang tegas terhadap para pelaku kekerasan, baik sanksi sosial maupun sanksi berdasarkan hukum formal. Sanksi harus diberikan juga pelaku kekerasan dalam skala kecil dan sedang. Karena pembiaran terhadap kekerasan-kekerasan kecil sama halnya sedang membiarkan kekerasan untuk tumbuh dan berkembang.
Ketiga, melakukan pemberdayaan dan penguatan nilai-nilai positif. Orang-orang yang selama ini takut melawan kekerasan harus diberdayakan dengan beragam cara. Misalnya, ia diberi dukungan dari lembaga-lembaga formal atau komunitas yang dominan. Orang-orang yang membudayakan nilai-nilai positif yang dapat menekan kekerasan diberikan penghargaan. Termasuk menggelar berbagai acara yang memfasilitasi nilai-nilai seperti toleransi, empati, peduli, persahabatan, atau kerjasama dapat terangkat dan dominan dalam wacana publik.
Pada akhirnya, kekerasan merupakan kejahatan yang harus dilawan dan harus disudahi. Membiarkan kekerasan terus berkembang sama saja kita sedang membiarkan orang- orang sekitar kita dalam keadaan terancam. Kita sedang membiarkan korban-korban baru berjatuhan. Dan untuk menyudahi kekerasan itu, tindakan harus kita ambil
sekarang. Kita semua harus terlibat untuk menyetop budaya kekerasan.***