BARU – BARU Ini Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan atas gugatan undang-undang NO. 7 TAHUN 2017 Pasal 169 huruf q, undang-undang Pemilihan Umum, tentang calon presiden dan wakil presiden, di mana dalam undang-undang tersebut mengatur batas usia minimal presiden dan calon presiden adalah 40 tahun. Dalam putusannya, MK menolak sebagian dan mengabulkan sebagiannya. Dan keputusan ini masih menjadi polemic di masyarakat.
Diantara yang ditolak MK gugatan dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Nomor Perkara 29/PUU-XXI/2023, dengan isi gugatan PSI meminta agar MK mengubah batas usia minimal menjadi 35 tahun. Sementara, dalam amar Putusan MK “menolak permohonan untuk seluruhnya”. Kemudian, gugatan yang diajukan oleh mahasiswa Universitas Surakarta Almas Tsaqibbirru dalam dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023. Dalam putusannya, MK mengabulkan sebagian permohonan dari pemohon.
Sebagian permohonan yang dikabulkan yaitu, menyatakan pasal 169 huruf q Undang-undang nomor 7 tahun 2017, yang menyatakan paling rendah 40 tahun bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 tahun, atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah.
Artinya, para kandidat yang mencalonkan diri pada pemilihan presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2024 bisa mencalonkan diri meskipun belum berusia 40 tahun. Hal itu berlaku sepanjang sang kandidat sudah terpilih melalui pemilu ataupun pemilihan kepala daerah (PILKADA), baik pernah terpilih sebagai DPR, DPD, DPRD, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati dan wali kota dan wakil wali kota.
Meskipun putusan ini masih menjadi polemik di tengah masyarat, putusan ini sudah final dan mengikat (final dan binding). Putusan ini pun sudah disepakati oleh DPR RI, KPU, Bawaslu, DKPP dan Kementerian Dalam Negeri untuk dilaksanakan pada Pemilu 2024. Kalau pun ada reaksi dari sebagian masyarakat, MK sudah membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Kita tunggu saja apa yang menjadi keputusan MKMK. Apapun yang diputuskan MKMK semoga menjadi solusi terbaik bagi demokrasi Indonesia.
Melihat fenomena batas usia capres dan cawapres yang dibatasi usia 40 tahun, perlu menjadi perhatian dan diskursus lebih lanjut, mengingat besarnya jumlah generasi muda pada saat ini yaitu generasi Z dan milenial. Pada Pemilu 2024 saja jumlah pemilih muda mencapai 56,45%. Kelompok muda ini yang akan menjadi pemimpin Indonesia ke depan. Dengan besarnya kelompok muda sampai pada saat ini, ketika mendapatkan tempat dan ruang dalam pembangunan, cita-cita Indonesia maju pada 2045 bukan suatu yang mustahil untuk dicapai. Tetapi bila potensi kelompok muda ini tidak terkelola dengan baik, Indonesia akan tetap terjebak pada middle income trap.
Kita sudah menyaksikan, berapa banyak pemimpin muda yang dihasilkan negara-negara di dunia yang berusia di bawah 40 tahun. Sebut saja Sanna Mirella Marin, yang telah menjadi Perdana Menteri Finlandia pada usia 34 tahun, Jacinda Kate Laurell Ardern terpilih pada usia 39 tahun menjadi Perdana Menteri Selandia baru, Emmanuel Macron terpilih menjadi Presiden Prancis pada usia 39 tahun, Daniel Noboa terpilih menjadi Presiden Ekuador pada usia 35 tahun, dan masih banyak lagi pemimpin lainnya. Dalam sejarah Indonesia, juga ada pemimpin yang berusia di bawah 40 tahun, yakni Sutan Sjahrir yang menjadi Perdana Menteri pada usia 36 tahun.
Dengan banyaknya pemimpin-pemimpin muda yang dilahirkan dibawah usia 40 tahun, ini perlu menjadi perhatian serius kita. Pembatasan usia pada UU Nomor 7 tanun 2017 yang membatasi usia capres dan cawapres pada usia 40 tahun, Termasuk UU Nomor 10 tahun 2016 tentang usia calon gubernur, bupati dan wali kota. Syarat yang menentukan bahwa calon gubernur harus berusia minimal 30 tahun dan bupati atau wali kota 25 tahun perlu dikaji ulang, mengingat besarnya kelompok muda pada saat ini.
Karena sejatinya, demokrasi itu memberi ruang sebesar-besarnya kepada warga negara untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Hal itu akan menjadi tidak demokratis ketika ada pembatasan terhadap partisipasi warga negara. Dibukanya ruang partisipasi publik sebesar-besarnya niscaya tujuan untuk menjadikan Indonesia menjadi negara maju pada 2024 bisa terwujud.
Bangsa Indonesia perlu membuka partisipasi warga negara publik sebesar-besarnya. Dengan demikian, akan bermunculan putra-putri terbaik bangsa untuk memimpin negeri. Hal itu bertujuan agar masyarakat pemilih bisa mendapat lebih banyak pilihan dalam mencari pemimpin terbaik. Iklim politik seperti ini juga akan menghasilkan sistem meritokrasi dalam melahirkan pemimpin masa depan.
Kita mendorong kepada DPR dan pemerintah yang terpilih di Pemilu 2024 untuk merumuskan ulang batas usia 40 tahun. Apakah batas usia tersebut masih relevan dengan perkembangan zaman saat ini? Kita berharap undang-undang baru tentang batas usia tersebut dapat dibuat ulang. Semoga pemimpin yang terpilih di Pemilu 2024 bisa membawa Indonesia kepada ke arah yang lebih baik, sesuai cita-cita bangsa dan legislator yang terpilih sebagai wakil rakyat yaitu orang-orang terbaik sehingga menghasilkan produk undang-sesuai kebutuhan zaman.
Kita mengharapkan perubahan undang-undang pasca Pemilu 2024 tentang batas usia. Ini akan mendorong lebih besar lagi partisipasin kelompok muda dalam dunia politik. Sejatinya, kelompok muda memiliki karakter kreatif, inovatif, futuristic dan berwawasan global sehingga akan menghasilkan terobosan-terobosan baru dalam pengambilan kebijakan. Kita sangat optimis dengan kekuatan anak muda.
Harapan kita, pemimpin 2024 bisa menjalankan tugas dan fungsinya sesuai undang-undang. Baik di eksekutif yang bisa mengeksekusi program untuk kemajuan bangsa, DPR yang bisa menghasilkan undang-undang yang berkualitas. Pembahasan mengenai batas usia capres dan cawapres ini harus dikembalikan ke DPR yang mana hal itu merupakan open legal policy. DPR yang harus merumuskan hal itu dan menjadikannya undang-undang. Legislasi yang baik tidak menimbulkan celah untuk digugat. Kalaupun ada gugatan, pasti akan ditolak oleh MK, karena mempunyai landasan yang kuat.
Dengan kondisi yang kita harapkan diatas, maka pengelolaan negara bisa berjalan dengan baik. Eksekutif tinggal menjalankan produk legislasi dan MK pun akan bertugas menguji undang-undang apakah bertentangan dengan konstitusi atau tidak, tidak lagi mendapat tugas lain sebagai pembuat undang-undang.
Terkait polemik putusan MK nomor: 90/PUU-XXI/2023, biarlah terus bergulir. Putusan ini pun sudah final dan mengikat. Bahkan, sudah disepakati juga oleh DPR dan KPU untuk dilaksanakan pada Pemilu 2024. Kalaupun ada pelanggaran kode etik yang dilakukan hakim MK dalam mengambil keputusan, kita tunggu saja hasil putusan MKMK. Kita yakin MKMK diisi orang-orang berintegritas dan berpengalaman dalam memutuskan sebuah perkara. Semoga.
Penulis: Asra Oktaviandi