JAKARTA (HK) – Mahkamah Agung (MA) mengadili dua polisi yang divonis bebas di kasus Kanjuruhan. Dua anggota polisi itu adalah mantan Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi dan eks Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto.
Berdasarkan website MA, Selasa (1/8/2023), permohonan kasasi itu diajukan jaksa. Perkara Bambang Sidik Achmadi mengantongi nomor 922 K/Pid/2023 sedangkan Wahyu Setyo Pranoto mengantongi nomor 92d K/Pid/2023. Keduanya diadili oleh majelis hakim yang sama yang diketuai hakim agung Prof Surya Jaya. Sedangkan anggota majelis hakim agung Brigjen TNI (Purn) Hidayat Manao dan hakim agung Jupriyadi.
Prof Surya Jaya merupakan hakim agung chamber pidana paling senior yang menjadi hakim agung sejak 2009. Guru Besar Hukum Univeritas Hasanuddin (Unhas) Makassar itu telah mengadili ribuan perkara. Di antaranya menjatuhkan vonis mati kepada 4 penyelundup sabu seberat 1,6 ton pada 2019. Keempatnya adalah WN China, yaitu Yao Yin Fa, Chen Meisheng, Chen Yi, dan Chen Hui.
Selanjutnya, ada Jupriyadi yang dikenal publik saat menjadi anggota majelis dengan terdakwa Ahok di PN Jakut. Setelah menjadi hakim agung, Jupriyadi memutus ribuan perkara pidana.
Di antaranya, Jupriyadi saat ini menjadi anggota majelis kasasi Ferdy Sambo, Putri Chandrawati, Kuat Maruf dan Ricky Rizal Wibowo. Jupriyadi juga ikut mengubah vonis lepas bos IndoSurya, Henry Surya menjadi 18 tahun penjara. Jupriyadi juga ikut memutuskan bila aset First Travel harus dikembalikan ke jemaah.
Sedangkan Hidayat Manao merupakan anggota majelis kasasi yang menghukum mati Herry Wirawan. Di mana Herry memperkosa 13 santri, beberapa di antaranya hingga hamil. Hidayat Manao juga ikut menghukum mati Harry Aris Sandigon alias Harris yang membunuh sekeluarga di Bekasi dengan linggis.
Sebagai hakim agung militer, Hidayat Manao konsisten dengan hukum militer yaitu menolak LGBT di institusi TNI sehingga menghukum anggota TNI yang terbukti melakukan perbuatan homoseks dan memecatnya. Sudah belasan anggota TNI yang dihukum dengan vonis tersebut oleh Hidayat Manao.
Tragedi Kanjuruhan terjadi pada 1 Oktober 2022. Tepatnya usai laga Liga 1 2022/2023 pekan ke-11 antara Arema FC vs Persebaya. Laga yang digelar di Stadion Kanjuruhan Malang itu berakhir dengan skor 2-3 untuk kemenangan tim tamu.
Sepasang gol Arema dikemas oleh Abel Camara. Sementara tiga gol Persebaya dicetak oleh Silvio Junior, Leo Lelis dan Sho Yamamoto. Laga tersebut disaksikan puluhan ribu suporter Arema yang biasa disebut Aremania. Suporter memenuhi tribun, baik tribun duduk maupun berdiri.
Sesaat setelah laga usai, banyak suporter yang turun ke lapangan. Kericuhan pun tak bisa dihindari. Polisi kemudian menembakkan gas air mata untuk membubarkan suporter. Namun tembakan gas air mata tersebut justru memperburuk kondisi dan berujung tragedi.
Aremania di tribun terpapar gas air mata. Mereka berusaha menyelamatkan diri dengan berupaya keluar dari tribun. Suporter berdesakan menuju pintu keluar, dan korban pun berjatuhan.
Tragedi Kanjuruhan menelan 135 korban jiwa. Ada 6 orang yang awalnya ditetapkan sebagai tersangka
Mereka yakni Kepala Satuan Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi, Komandan Kompi (Danki) Brimob Polda Jawa Timur AKB Hasdarman dan Kepala Bagian Operasional (Kabag Ops) Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto.
Sedangkan dari sipil adalah Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru (LIB) Akhmad Hadian Lukita, Ketua Panitia Pelaksana Pertandingan Abdul Haris, dan Security Officer Suko Sutrisno. Akhirnya, kasus ini diproses dan bermuara ke pengadilan.
Sumber: Detikcom