Penulis: Asra Oktaviandi
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan jadwal pelaksanaan kampanye pada tanggal 28 November 2023 untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan calon Presiden (Capres) serta calon Wakil Presiden (Cawapres) yang akan berpartisipasi dalam Pemilu 2024.
Namun, di tengah proses ini, isu kecurangan pemilu dan ketidaknetralan lembaga Negara telah mencuat. Beberapa pihak mengklaim adanya kecurangan dalam penyelenggaraan Pemilu 2024, dengan tuduhan yang ditujukan kepada peserta pemilu, KPU, Bawaslu, dan lembaga Negara lainnya.
Berawal dari penghujung tahun 2022, saat verifikasi factual partai politik calon peserta pemilu 2024, serta putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 90/PUU-XXI/2023 yang mengubah batas usia calon presiden dan calon wakil presiden dari 40 tahun dengan memasukkan syarat bahwa calon yang berusia di bawah 40 tahun boleh mencalonkan diri asalkan pernah terpilih melalui pemilihan langsung. Isu-isu lain seperti keterlibatan kepolisian dalam pemasangan baliho salah satu kandidat, ketidaknetralan Aparatur Sipil Negara (ASN), dan acara “Desa Bersatu” di Indonesia Arena GBK, Jakarta Pusat, juga turut mencuat.
Acara tersebut, yang mengumpulkan perangkat desa dari seluruh Indonesia, dianggap sebagian pihak sebagai pelanggaran pemilu. Salah satu kelompok yang menyuarakan masalah ini adalah TPN Ganjar Mahfud, yang berencana melaporkan acara tersebut ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Situasi ini memerlukan perhatian serius dari seluruh rakyat Indonesia. Semua pemangku kepentingan, termasuk KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara, harus mengambil peran masing-masing. Mereka diharapkan dapat menjernihkan dan memberikan penjelasan yang terang-benderang mengenai polemik yang muncul di tengah masyarakat.
Rakyat pun diharapkan lebih aktif terlibat dalam proses pemilu yang sedang berlangsung. Dengan keterlibatan yang lebih besar dari masyarakat, potensi kecurangan dapat diminimalkan, dan pelaku kecurangan akan berpikir dua kali sebelum melibatkan diri dalam praktik-praktik tidak etis.
Pemilu yang curang berpotensi menyebabkan disintegrasi bangsa. Rendahnya kepercayaan publik terhadap hasil pemilu dapat menciptakan perpecahan di tengah masyarakat. Pemilu yang tidak fair juga dapat menghasilkan pemimpin yang tidak jujur dan merugikan, yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat, dan dapat mengakibatkan pengabaian terhadap kebijakan yang mendukung kesejahteraan rakyat.
Keberhasilan Pemilu 2024 tidak hanya berarti mengantarkan para kandidat ke tampuk kekuasaan. Lebih dari itu, hasil pemilu harus mendapat kepercayaan dan legitimasi dari rakyat. Sehingga pemimpin yang terpilih akan mendapat dukungan mayoritas rakyat dalam melanjutkan pembangunan. Suksesnya kepemimpinan yang akan datang sangat bergantung pada kualitas pemilu yang terjadi saat ini.
Mengingat kondisi ini, kami menghimbau semua komponen bangsa untuk terlibat aktif dalam Pemilu 2024. Baik sebagai penyelenggara pemilu, seperti KPU dan Bawaslu, maupun sebagai bagian dari masyarakat sipil, untuk mengawasi pelaksanaan pemilu. Di era digital saat ini, masyarakat memiliki kemampuan untuk memviralkan informasi melalui media sosial.
Mantan Ketua DKPP RI, Prof. Muhammad, pernah memberikan pesan kepada anggota KPU dan Bawaslu agar menjadikan etika sebagai kebutuhan dasar dalam penyelenggaraan pemilu. “Dengan berpegang teguh pada etika, penyelenggara tidak akan takut kepada DKPP dan siap dikritik oleh masyarakat.”
Penyelenggara yang berpegang teguh pada etika akan terlihat dari pengambilan keputusan, meningkatkan kepercayaan publik terhadap penyelenggara.
Kemandirian menjadi kunci dalam penyelenggaraan pemilu. Penyelenggara yang mandiri akan menjaga independensi dalam menjalankan tugasnya. Karakter mandiri sebagai penyelenggara menolak segala bentuk intervensi yang dapat mempengaruhi hasil pemilu, karena mereka tidak terikat oleh kepentingan apapun kecuali demi menjaga pemilu yang berkualitas.
Sinergi dan kolaborasi antara penyelenggara, lembaga Negara, civil society, dan masyarakat juga sangat diperlukan dalam mensukseskan Pemilu 2024. Dengan sinergi dan kolaborasi, informasi menjadi lebih terbuka, partisipasi meningkat, dan praktek-praktek kecurangan dapat dicegah lebih efektif.
Selain itu, peran civil society dalam memberikan tekanan terhadap praktek kecurangan, memberikan pendidikan politik, mencegah penyebaran berita bohong (hoax), dan menjadi pemantau pemilu sangat penting untuk menjaga integritas pemilu.***