Menu

Mode Gelap
Pemkab Lingga Tetapkan Desa Kelumu Sebagai Kampung Reforma Agraria 2024 MAN 2 Batam Sabet Juara 3 di Turnamen Futsal Istana Sport Cup 2024 KUA Sekupang dan LAZ Batam Gelar Workshop dan Salurkan Bantuan untuk Pemberdayaan Ekonomi Wanita di Bintan Utara Nyaris jadi Korban Pemerkosaan Pria Tetangga DKP Kepri – Traveloka dan CARE Indonesia Proteksi Ekosistem Mangrove di Pulau Bintan Melalui Pemberdayaan Kelompok Perempuan BP Batam Raih Prestasi Sangat Baik, Indeks Perencanaan Pembangunan Nasional

BERITA TERKINI

Ketidaksetaraan Pembagian Harta Gono Gini Picu Tingginya Gugatan Cerai dari Istri di Pengadilan Agama

badge-check


					Ilustrasi. Perbesar

Ilustrasi.

Harta gono gini adalah harta bersama antara suami dan istri yang timbul akibat pernikahan, baik itu merupakan harta bawaan sebelum menikah, jika tidak ada perjanjian pranikah yang menyatakan bahwa harta tersebut adalah harta bawaan yang tidak menjadi milik bersama. Jika suami atau istri memiliki properti sebelum menikah, hal tersebut disebut sebagai harta bawaan. Jika sebelum pernikahan dibuat perjanjian pranikah yang menyatakan bahwa harta tersebut adalah harta bawaan sebelum menikah, maka harta tersebut tidak termasuk dalam harta bersama. Ketentuan harta gono gini tidak bersumber dari syariat Islam, melainkan berasal dari adat di beberapa wilayah di Indonesia. Kemudian, ketentuan ini diintegrasikan ke dalam Kompilasi Hukum Islam, yang sekarang dikenal sebagai Kompilasi Hukum Islam.

Mut’ah ketika istri ditalaq

Dalam hukum Islam, ketika suami memberikan talak kepada istri, istri berhak mendapatkan mut’ah berdasarkan kesepakatan dengan istri, bukan sebanyak 50% seperti yang diatur dalam ketentuan harta gono gini dalam Kompilasi Hukum Islam. Hal ini berbeda dengan praktik yang umumnya diakomodir oleh Pengadilan Agama dalam pembagian harta bersama (harta gono gini) antara suami dan istri. Hukum Islam hanya diakomodir dalam terminologi Islam semata.

Dalam hukum Islam, jika istri yang mengajukan perceraian, maka istri harus mengembalikan mahar suami sebagai syarat sahnya perceraian. Dalil dari Al-Qur’an, Surat Al-Baqarah ayat 229 sebagai berikut: “Dan jika kamu khawatir bahwa keduanya tidak dapat menjalankan ketentuan-ketentuan Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya.”

Namun, istri tidak mendapatkan mut’ah dari suami. Secara logika, ketika istri meminta cerai kepada suami, kemudian istri disyaratkan untuk mengembalikan mut’ah, dan dalam masa menggugat cerai, istri berhak mendapatkan harta gono gini dari suami, sesuai yang dipraktekkan dalam Hukum Positif di Pengadilan Agama. Untuk ke depannya, diharapkan para pemimpin negara dapat mengakomodir ketentuan syariat Islam bagi istri yang mengajukan cerai, di mana istri harus mengembalikan mahar dan tidak mendapatkan mut’ah sesuai ketentuan syariat Islam.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Islam tidak mengenal konsep harta gono gini yang diintegrasikan ke dalam Kompilasi Hukum Islam. Gono gini adalah satu-satunya ketentuan yang diakomodir dalam Kompilasi Hukum Islam yang diberlakukan oleh Pengadilan Agama. Kompilasi Hukum Islam menjadi bukti bahwa pada zaman sekarang, kita mengikuti kebiasaan dari zaman sebelum Rasulullah SAW, sebagaimana disebutkan dalam hadis beliau.

Setelah ayat 23 Surat Ali Imran diturunkan oleh Allah SWT, sebelum mengutip hadis tersebut, mari kita kutip terlebih dahulu ayat 23 Surat Ali Imran sebagai berikut:

“أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا حِظَّ مِنَ الْكِتَابِ يُدْعَوْنَ إِلَى كِتَابِ اللَّهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ يَتَوَلَّى فَرِيقٌ مِّنْهُمْ وَهُم مُّعْرِضُونَ” (ال عمران: 23)

Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang telah diberi bagian Kitab, mereka diajak untuk berpegang pada Kitab Allah agar memutuskan perkara di antara mereka. Kemudian, sebagian dari mereka berpaling, seraya menolak kebenaran. (Qur’an, Surat Ali Imran: 23).

Setelah itu, Rasulullah SAW bersabda: “Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, dan sehasta demi sehasta, hingga sekiranya mereka masuk ke dalam lubang biawak pun, kalian pasti akan mengikuti mereka.”

[Abu Sa’id Al Khudri] berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Kalian akan mengikuti jejak orang-orang sebelum kalian dengan begitu kuatnya, seperti anak panah menembus sasaran.’ Kami bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah mereka itu Yahudi dan Nasrani?’ Beliau menjawab, ‘Siapa lagi kalau bukan mereka.'”

Dengan fakta (praktek hukum) di Pengadilan Agama, kita tidak hanya sekadar mengikuti mereka, tetapi juga kita terkesan telah berpaling dari petunjuk Kitab Allah dalam berhukum. Selain itu, kita juga telah mencampuradukkan kebenaran dan keadilan yang telah terkodifikasi dalam Kompilasi Hukum Islam. Allah berfirman: “Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebatilan, dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya.”

Perbedaan Saksi Laki-Laki Dan Perempuan

Allah berfirman: “Mintalah kesaksian dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), sehingga jika salah seorang (saksi perempuan) lupa, yang lain dapat mengingatkannya.” (Qur’an, Al-Baqarah: 282)

Di Pengadilan Agama, dua orang perempuan sudah memenuhi ketentuan dua orang saksi. Berdasarkan ayat Qur’an di atas, dibutuhkan dua orang saksi laki-laki. Namun, jika tidak ada dua orang saksi laki-laki, boleh menggunakan satu orang saksi laki-laki dan dua orang saksi perempuan. Inilah perbedaan antara saksi-saksi dalam Hukum Islam dan Hukum Positif yang diterapkan di Pengadilan Agama. Sebagai contoh, pada tahun 2005, Kolonel Angkatan Laut menikam istrinya dan Hakim Pengadilan Agama di Sidoarjo. Hal ini salah satu penyebabnya adalah karena dirasakan tidak adilnya ketentuan pembagian harta gono gini, yang merupakan satu-satunya ketentuan yang diakomodir dalam Keputusan Pengadilan Agama dalam praktik hukum di Pengadilan Agama.

Kompilasi Hukum Islam Salah Kaprah

Penamaan Kompilasi Hukum Islam merupakan fakta yang keliru. Dalam praktiknya, Hukum Islam yang diakomodir hanya mencakup istilah-istilah Islam saja, seperti Talaq Khulu’, yang hanya digunakan untuk merujuk pada keputusan hakim terkait talaq. Syarat agar istri dapat meminta cerai, sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat 229 Surat Al-Baqarah dalam Al-Qur’an, mensyaratkan agar istri harus membayar kembali maharnya kepada suaminya.

Secara logika, jika istri diwajibkan mengembalikan mahar, maka istri tidak berhak menerima mut’ah, dan hal ini sesuai dengan ketentuan syariah. Namun, dalam praktik Hukum di Pengadilan Agama, tidak peduli apakah istri yang mengajukan perceraian atau suami yang menceraikan, istri tetap berhak mendapatkan harta gono gini dari suaminya.

Saran: Akomodir ketentuan syari’at Islam terkait kasus di mana istri mengajukan cerai, dengan menetapkan bahwa istri tidak berhak mendapatkan mut’ah dari suami jika perceraian tersebut dipicu oleh gugatan cerai dari istri.

Ke depan, sebaiknya tidak perlu mengakomodir ketentuan gono gini dalam keputusan Pengadilan Agama (PA). Ketentuan tersebut tidak masuk akal, terutama ketika istri yang mengajukan cerai kemudian meminta harta. Salah satu faktor penyebab banyaknya permintaan cerai dari istri kepada suami adalah karena pengadilan agama hanya mengakomodir satu-satunya aturan pembagian harta, yaitu 50% bagi masing-masing istri dan suami.

Perbedaan antara Hukum Islam dan Hukum Positif yang diterapkan di PA terletak pada pendekatan mencari kebenaran. Hukum Islam mencari kebenaran materiil, sedangkan Hukum Positif cenderung mencari kebenaran formalitas dan prosedur. Dalam Hukum Islam, saksi laki-laki dianggap setara dengan satu saksi perempuan, yang berarti dua saksi perempuan baru setara dengan satu saksi. Namun, di PA, dua saksi perempuan sudah dianggap cukup.

Saat ini, masyarakat cenderung meninggalkan pedoman yang terdapat dalam kitab Allah ketika berhukum, mirip dengan kecenderungan umat sebelumnya. Kita juga berada dalam era di mana kebenaran seringkali disalahartikan dan dicampuradukkan dengan kebathilan, mengikuti pola yang telah dilakukan oleh generasi sebelum kita.

Saran: Sebaiknya akomodir ketentuan syari’at Islam dalam memutuskan perkara di Pengadilan Agama agar tidak muncul kasus serupa seperti yang terjadi pada Letkol Irvan. Hal ini penting karena prinsip tersebut bukanlah ajaran Islam, melainkan merupakan warisan budaya dari adat tertentu di Indonesia. Semoga bermanfaat.***

Ofea Bowen Putra
Praktisi Hukum di Batam

Baca Lainnya

MAN 2 Batam Sabet Juara 3 di Turnamen Futsal Istana Sport Cup 2024

11 Desember 2024 - 15:53 WIB

BP Batam Raih Prestasi Sangat Baik, Indeks Perencanaan Pembangunan Nasional

11 Desember 2024 - 14:21 WIB

Kepala BP Batam Optimistis Terminal 99 Mampu Perbaiki Kualitas Layanan Penumpang

11 Desember 2024 - 13:56 WIB

42 KK Tempati Rumah Baru Tanjung Banun

4 Desember 2024 - 11:41 WIB

Hadiri RDP Lanjutan, BP Batam Laporkan Pencapaian Kinerja dan Rencana Pengembangan Batam

4 Desember 2024 - 11:39 WIB

Trending di BATAM