JAKARTA (HK) – Harga minyak mentah dunia mengalami kenaikan tipis pada perdagangan Kamis (3/10/2024), yang dipicu oleh meningkatnya ketegangan di Timur Tengah.
Konflik yang melibatkan Israel dan Hamas di Palestina, serta keterlibatan Israel dengan Lebanon dan Iran, turut memengaruhi fluktuasi harga. Meskipun demikian, kenaikan harga minyak dibatasi oleh melimpahnya stok minyak global, termasuk di Amerika Serikat.
Minyak mentah berjangka Brent naik sebesar 64 sen atau 0,87 persen, mencapai US$74,54 per barel, sementara minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS meningkat 72 sen atau 1,03 persen menjadi US$70,82 per barel.
Serangan Israel di Bachoura, Beirut, menyebabkan dua orang tewas dan 11 orang terluka. Iran juga terlibat, meluncurkan lebih dari 180 rudal balistik ke Israel pada hari Selasa.
Namun, peningkatan tak terduga dalam persediaan minyak mentah global, terutama di AS, membantu menstabilkan harga. Persediaan minyak mentah AS tercatat naik 3,9 juta barel menjadi 417 juta barel per 27 September 2024, melebihi ekspektasi analis yang memperkirakan kenaikan hanya 1,3 juta barel.
“Persediaan AS yang membengkak menambah bukti bahwa pasar memiliki pasokan yang baik dan dapat bertahan terhadap gangguan apa pun,” kata analis ANZ.
Meskipun konflik di Timur Tengah berpotensi mempengaruhi harga, pasar melihat bahwa pasokan minyak mentah global tetap aman.
“Setelah serangan Iran ke Israel, harga minyak mungkin tetap tinggi atau fluktuatif untuk sedikit lebih lama, tetapi ada cukup produksi dan pasokan di dunia,” ungkap Jim Simpson, Kepala Eksekutif East Daley Analytics.
OPEC dilaporkan memiliki kapasitas cadangan yang cukup untuk mengkompensasi potensi hilangnya pasokan dari Iran jika Israel menyerang fasilitas negara itu. Namun, para pedagang mengungkapkan kekhawatiran jika Iran membalas serangan dengan menyerang instalasi di negara-negara tetangga di Teluk.
“Kapasitas cadangan yang tersedia secara efektif mungkin jauh lebih rendah jika terjadi serangan baru terhadap infrastruktur energi di kawasan tersebut,” kata Giovanni Staunovo, analis di UBS.
Sumber: CNN Indonesia