SURABAYA (HK) — Dengan keahlian jahitnya, Esther Purwari dari Nina Sibori memperkenalkan dunia fashion berbahan baku daun-daunan.
Proyek ini dimulai dari Sibori pewarna alam, dan Esther mengembangkan konsepnya dengan teknik ecoprint, yang tetap mengandalkan pewarna alami. Misi utamanya adalah mengurangi sampah tekstil yang sulit terurai.
“Jadi awalnya dua tahun saat pandemi saya mengembangkan fashion menggunakan bahan pewarna alam jadi dengan memanfaatkan limbah daun-daun yang sudah dibuang seperti daun jarak wulung, tabebuya dan daun kenikir bahkan hingga semak-semak dan lain-lain,” ujarnya seperti yang dilansir oleh RRI.co.id pada Senin (18/9/023).
Hasil karyanya telah dipamerkan di Surabaya Kriya Galeri (SKG Merr), Siola, PKK Kota Surabaya, serta beberapa pameran lainnya. Koleksinya mencakup sepatu, topi, pasmina, syal, dan berbagai produk lainnya.
Esther juga tidak ragu untuk bereksperimen dengan bahan pewarna alami, seperti daun ketapang, hasil dari perantingan petugas taman.
“Saya itu kadang minta petugas yang potong-potong ada namanya daun Ketapang itu saya minta saya eksperimen lalu saya tetesi zat namanya Tunjung kalau bereaksi warnanya jadi hitam maka dapat digunakan pewarna,” tambahnya.
Hingga saat ini, Esther mengatakan bahwa ia belum mengalami banyak kendala karena bahan-bahan yang digunakannya mudah didapatkan, bahkan ia sudah mulai menanam beberapa sendiri untuk menghemat sumber daya.
Dalam hal pemasaran, ia tidak menemui kesulitan berarti karena selalu mengikuti tren terkini yang diminati oleh berbagai kalangan, termasuk anak muda. Harga produk-produknya juga terjangkau, berkisar antara 100 ribu hingga satu juta rupiah.
“Saya rasa zero waste fashion harus mulai digerakkan karena limbah terbesar adalah sisa-sisa kain yang sulit terurai jadi dengan cara-cara ecoprint dan pewarna alam maka dapat meminimalkan pencemaran lingkungan,” tutupnya.