TANJUNGPINANG (HK) – Dua terdakwa perkara korupsi penggunaan dana hibah APBD 2022 ke Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Kabupaten Karimun Rosita binti Sinuk dan Melli bin Darwis, divonis majelis hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Tanjungpinang masing-masing selama 2 tahun 10 bulan atau setara 34 bulan penjara dalam sidang, Selasa (20/08/2024).
Dalam perkara korupsi tersebut, terdakwa Rosita selaku Bendahara KONI Kabupaten Karimun dan Melli bin Darwis, selaku staf pembantu bendahara KONI.
Majelis hakim dipimpin Ricky Ferdinand di dampingi dua hakim anggota menyatakan kedua terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dakwaan subsider Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Negeri Karimun.
Disamping vonis tersebut, majelis hakim juga menjatuhkan hukuman berupa denda masing-masing terdakwa sebesar Rp.100 juta, namun jika tidak dibayarkan maka akan diganti kurungan selama 2 bulan penjara atas perbuatannya yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp.417 juta.
Kedua terdakwa dinyatakan melanggar Pasal 3 Jo Pasal 18 UU-RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU-RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
” Menjatuhkan hukuman kepada terdakwa dengan hukuman pidana penjara masing-masing selama 2 tahun dan 10 bulan, serta denda Rp 100 juta subsider 2 bulan,”ucap Hakim.
Selain itu, kedua terdakwa juga dijatuhi pidana tambahan lain berupa membayar Uang Pengganti (UP) kerugian negara sebesar Rp 433 juta.
Namun karena terdakwa Rosita telah menitipkan uang sebagai uang penggati makanya nilai uang pengganti dimaksud menjadi nihil.
Sementara uang yang dititipkan ke Kejari Karimun yang dimaksud maka untuk dikembalikam ke kas daerah Kabupaten Karimun.
Vonis majelis hakim tersebut jauh lebih ringan dari tuntutan JPU dari Kejari Karimun sebelumnya.
Dimana terdakwa Rosita dituntut selama 4 tahun dan 6 bulan penjara, sementara terdakwa Melli bin Darwis dituntut selama 4 tahun dan 3 bulan penjara.
Selain itu, JPU menuntut kedua terdakwa untuk membayar denda masing-masing sebesar Rp.200 juta subsider 4 kurangan.
Atas vonis majelis hakim tersebut kedua terdakwa didampingi tim penasehat hukumnya termasuk JPU menyatakan pikir-pikir selama 7 hari sejak putusan ini dibacakan.
Sebagaimana diberitakan, pada tahun 2022 KONI Karimun menerima dana hibah APBD sebesar Rp3,4 miliar dari Rp6,2 miliar yang diajukan Jhon Abrison SE selaku ketua KONI.
Selanjutnya, dana tersebut dicairkan pemerintah Karimun melalui Dinas Pemuda dan Olahraga, dengan rincian dari APBD murni Rp1,4 miliar dan APBD Perubahan Rp2 miliar ke rekening KONI Karimun.
Sebelum pencairan dana, Jhon Abrison SE sebagai Ketua KONI juga mengku mengajukan proposal, kemudian menandatangani Nota Pemberian Hibah Daerah (NPHD), pakta integritas untuk tidak melakukan korupsi, tanggung jawab membuat laporan serta bertanggung jawab secara formal dan materi atas penerimaan dan penggunaan dana hibah KONI.
Sementara dalam sidang, Majelis yang mengadili perkara ini sempat mempertanyakan dan meminta kepada pihak kejaksaan untuk mengusut tuntas semua yang terlibat dalam perkara dugaan korupsi penggunaan dana hibah APBD 2022 di KONI tersebut.
“Kami melihat dalam perkara ini hanya bagian”ekornya” saja yang di usut hingga kepersidangan sebagai terdakwa, sementara bagian “kepala dan badannya” tidak tersentuh. Untuk itu, saya minta jaksa tolong usut semua yang terlibat, agar rasa keadilan itu benar-benar bisa ditegakkan,”ujar majelis hakim kepada JPU dalam persidangan.
Dalam sidang juga terungkap, berbagai cabang olahraga (cabor-cabor) yang tidak melengkapi laporan pertanggungjawaban, kemungkinan ikut menikmati juga.
“Jangan cuma dua orang ini saja yang kena untuk mempertanggungjawabkan perbuatan yang juga dilakukan orang lain,” ujar Hakim.
Sementara penasihat hukum terdakwa, Masrur Amin mengungkapkan, ada hal paling penting perlu disikap,“Terkait pernyataan hakim soal kepala tidak kena, malah ekornya yang kena.”
“Itukan sangat menarik, bahkan saksi sebelumnya, majelisnya bahkan ngomong, kok bisa saksi saja nih, ditunjuklah Ketua KONI dan Sekretaris KONI,”sebutnya.
Artinya, kata Masrur, terungkap dalam fakta-fakta persidangan berati ada keterlibatan kedua orang tersebut.
“Dari awal sebetulnya kami pertanyakan, dan ini memang aneh, baru terjadi di Indonesia, hanya bendahara yang kena. Segala keputusan pengeluaran uang dari bendahara itu sepengetahuan ketua KONI,”tegasnya.
Menurutnya, dalam perkara ini ada dua hal yang mendasar perlu disikapi, pertama, pengajuan proposal mengikuti Porprov itu Rp6,2 miliar dalam artian penghitungan yang matang.
“Ternyata yang disetujui hanya Rp3,4 miliar, hampir separoh, berarti sangat minim dana ini, lalu bagaimana bisa dikorupsi, kalau bisa dikorupsi banyak yang tidak bisa terlanyani,” ungkapnya.
Kemudian kedua, tidak kalah penting adalah perimbangan bahwa Popda dengan atlet 160 orang dengan durasi lima hari, tidak diikuti semua cabor itu biayanya Rp1,6 miliar. Sementara Porprov durasi 10 hari dengan atlet ditambah ofisial manejer 517 dengan biayanya Rp1,8 miliar.
“Lalu pertanyaannya, siapa, di mana korupsi barang ini. Kalau maladministrasi masuk akal dan saya setuju, karena ada faktor terburu-buru, terdesak, karena orang tua bendahara meninggal, itu mengurangi konsentrasi yang bersangkutan,” jelasnya.
Lanjut, katanya, terkait keterangan terdakwa pada intinya dititikberatkan adalah uang yang masuk ke rekening pribadinya.
“Ada Rp100 juta dan Rp200 juta, itu karena si Melli mau mengembalikan uang kepada cabor-cabor, tapi tak datang. Melli takut pegang uang itu, sehingga dimasukkan ke rekening (Rosita), uang itu besoknya didistribusikan dengan baik.”paparnya.
Kemudian lanjutnya, dari semua bukti-bukti lampirannya saya sampaikan ke majelis hampir Rp400 juta yang dikeluarkan dari total Rp290 juta.
“Beliau (Terdakwa) top up loh mobilnya dan jual tanah juga, sudah 10 tahun menjabat, tidak digaji, terancam pula status PNS nya,” ujarnya.
Dengan perkara ini, menurutnya, kedua terdakwa tidak layak jadi tersangka, karena tidak ada kerugian negara.
“Cuma BPKP dalam mengaudit, itu ada hal yang keliru langsung dinyatakan kerugian negara, karena beberapa pos cabor, seharusnya tertutupi, tapi tidak masukkan. BPKP juga tidak salah, karena tidak menemukan bukti pendukung, tapi tidak serta merta disimpulkan sebagai kerugian negara,” ucapnya.
Dalam sidang juga terungkap adanya markup dana SPPD masing-masing peserta cabang olahraga dari Rp13 juta yang ditandatangani di kwitansi, Namun yang diterima peserta hanya Rp2-3 juta.
Selain itu, dalam laporan KONI, juga disebutkan adanya pembelian minuman penambah energi untuk atlet Porprov Karimun berupa Pocari Sweat dan air mineral tambahan, Namun dalam kenyataannya tidak pernah dibeli dan diberikan kepada atlet.
Laporan lain dari KONI Karimun juga menyebutkan adanya markup dana penginapan dari Rp6-9 juta per orang, Namun dalam kenyataannya satu kamar ditempati dua hingga tiga orang peserta.
Hal yang sama juga terjadi pada sewa mobil untuk masing-masing cabang olahraga, yang disebutkan diberikan satu mobil rental pada masing-masing Cabor, Namun faktanya satu mobil digunakan secara bergantian oleh cabang olahraga saat mengikuti pertandingan Porprov Kepri di Bintan.
Sejumlah fata itu ditunjukan Jaksa penuntut Umum, melalui SPPD kwitansi saat memeriksa Nova Trisna sebagai Staf KONI, Asmawati dan Haidir sebagai tim penyedia konsumsi serta sejumlah saksi lainya.(nel)