BINTAN (HK) – Terkait dengan dilarangnya wartawan meliput Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara warga dan PT Ciomas Adisatwa serta PT Indojaya Agrinusa, anak perusahaan Japfa grup, di kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bintan mengenai lalat atau agas yang diderita oleh masyarakat Kampung Tanjung Kapur, RT. 04/RW. 05 Kelurahan Kawal, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Wakil Ketua 1 DPRD Bintan, Fiven Sumanti, menegaskan bahwa informasi yang berkembang adalah tidak benar.
Menurut Fiven, DPRD Bintan sangat mendukung kehadiran media, baik dalam acara RDP maupun acara lainnya seperti paripurna.
Dia mengatakan bahwa dalam RDP tersebut, hadir delapan orang perwakilan masyarakat, Camat Gunung Kijang, Lurah Kawal, perwakilan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bintan, Kepala Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Bintan, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bintan, Kepala Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Bintan, Kepala Dinas Sosial Kabupaten Bintan, serta pihak PT. Ciomas Adisatwa.
Fiven juga menjelaskan bahwa RDP tersebut dilakukan dengan melibatkan dua Komisi (Komisi 1 dan Komisi 2) yang dipimpin oleh dirinya sendiri.
“RDP dimulai pada pukul 10.00 WIB dan berakhir pada pukul 12.00 WIB ketika RDP telah berjalan selama kurang lebih satu jam, saya diberitahu oleh staf bahwa ada media yang ingin masuk. Karena telah berlangsung lama, saya menyuruh mereka untuk menunggu dan saya akan bertemu dengan mereka nanti,” ujarnya, kemarin.
Meskipun Fiven ingin menjawab pertanyaan wartawan dengan utuh dan tidak sepotong-sepotong, namun pada saat rapat berakhir, dia tidak menemukan rekan-rekan wartawan dan sempat bertanya pada staf dimana mereka berada.
“Karena tidak menemukan mereka, saya langsung ke ruangan lain dan menjumpai tamu yang sedang menunggu,” Kata dia.
Dalam kesimpulannya, Fiven membantah bahwa wartawan tidak diizinkan meliput RDP tersebut dan menegaskan bahwa DPRD Bintan sangat terbuka kepada media.
Diberitakan sebelumnya sejumlah awak media mendapatkan tindakan pelarangan tidak berdasar saat akan meliput rapat dengar pendapat (RDP) antara DPRD Kabupaten Bintan dan PT Ciomas serta PT Indojaya Agrinusa, anak perusahaan Japfa grup, Senin (8/7/2024) siang.
Saat hendak menaiki tangga menuju ruang RDP, salah satu staf DPRD Kabupaten Bintan sempat bertanya kepada awak media yang hendak meliput, kemudian mengungkapkan bahwa ada larangan untuk meliput pada rapat tersebut.
“Ga boleh naik atas, bang,” ujar salah satu staf DPRD Kabupaten Bintan.
Ketua Komisi I DPRD Kabupaten Bintan, Hasriawadi, mengaku tidak mengetahui adanya larangan tersebut.
“Saya tidak tau ada larangan itu. Kalau saya dari awal bilang kalau ada rekan-rekan media silahkan naik. Seharusnya staf bersangkutan melaporkan dan menanyakan ke saya bahwa ada rekan-rekan media, rapatnya terbuka atau tertutup,” ujarnya.
Rintangi Kerja Wartawan
Sementara itu, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Tanjungpinang, Sutana menyayangkan tindakan menghalangi kerja wartawan pada saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) di kantor DPRD, Kabupaten Bintan, Senin (8/7/2024).
Ia mengatakan, tindakan yang dilakukan oknum merupakan pelanggaran terhadap kebebasan pers yang dijamin dalam Undang-undang Pers No 40 tahun 1999, akan tetapi hal demikian berpotensi merusak integritas institusi tersebut.
“Khususnya, larangan untuk meliput dan atau dilarangnya akses ke ruang RDP DPRD Bintan merupakan suatu hal yang sangat disayangkan,” jelasnya.
Sutana menyebut, DPRD Bintan seharusnya memberikan ruang yang memadai serta kebebasan kepada jurnalis untuk meliput dan memberitakan informasi yang terkait dengan kepentingan publik.
“Kami mengingatkan bahwa upaya menghalang-halangi kerja jurnalistik tidak hanya bertentangan dengan prinsip demokrasi dan kebebasan berpendapat, tetapi juga mencoreng semangat demokrasi yang seharusnya dijunjung tinggi dalam sistem bernegara,” ucapnya.
“Oleh karena itu, kami menghimbau agar segala bentuk pembatasan yang tidak semestinya terhadap kegiatan jurnalistik dihindari, demi menjaga kebebasan pers dan integritas lembaga yang terkait,” urainya.
Sutana berharap agar kejadian serupa tidak terulang dimasa mendatang, dan semua pihak yang terlibat dapat bersama-sama menghormati dan mematuhi prinsip-prinsip dasar kebebasan pers yang merupakan salah satu pilar utama dalam demokrasi modren.
Hal senada disampaikan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Bintan, Harjo Waluyo yang menyebut tidak boleh ada pelarangan terhadap wartawan saat meliput, apalagi RDP merupakan informasi yang harus diketahui publik.
“Kalaupun ada aturan dari daerah, kita lihat aturan tertinggi. Undang-undang pers lebih tinggi dan harus dipatuhi,” sebutnya.
Adanya pelarangan tersebut, membuat berbagai dugaan dan asumsi, apakah ada sesuatu, sehingga jurnalis dilarang untuk melakukan peliputan.
“Ujung-ujungnya kan kita berasumsi ada apa. Jangan sampai informasi yang harusnya terbuka jadi ditutup-tutupi,” pungkasnya.
Ketua Ikatan Wartawan Online (IWO) Kepulauan Riau (Kepri) Iskandar Syah merasa prihatin dan miris terhadap pelarangan meliput yang dialami oleh sejumlah wartawan saat RDP di DPRD Bintan.
Tindakan tersebut jelas melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
Sangat disayangkan kenapa itu sempat terjadi. Ditambah lagi di gedung wakil rakyat. Seharusnya wakil rakyat memahami tentang kerja jurnalistik, bukannya melarang.
DPRD Bintan seharusnya bijak, memberikan ruang yang memadai untuk jurnalis meliput. Karena, wartawan memberitakan informasi demi kepentingan publik.
Menghalangi wartawan atau jurnalis pada saat menjalankan tugasnya dapat dipidana. Bagi seseorang yang dengan sengaja menghalangi wartawan menjalankan tugasnya dalam mencari, memperoleh dan menyebarluaskan informasi dapat dikenakan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
Pasal 18 ayat (1)
“Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Dengan demikian, seseorang yang dengan sengaja menghambat dan menghalangi tugas wartawan otomatis melanggar ketentuan pasal tersebut dapat diancam pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak 500 juta rupiah.
“Semoga kedepan tidak terulang kembali peristiwa seperti ini terhadap jurnalis. Karena, ada pidananya,” katanya.(rdm/eza)