Oleh : Reiny Dwinanda, Jurnalis Republika.co.id
Sebagian mungkin akan baik-baik saja ketika kena Covid-19. Itu pula yang kabarnya terjadi pada orang-orang yang terinfeksi SARS-CoV-2 varian omicron.
Bahkan, banyak orang yang tidak merasakan gejala apapun ketika omicron sudah masuk ke tubuhnya. Mereka pun menjadi pembawa virus dan bisa menyebarkannya tanpa disadari.
Sesungguhnya, omicron tidak boleh dianggap enteng meski infeksinya tidak separah varian delta. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan telah mengingatkan untuk tidak memperlakukan Covid-19 sebagai penyakit endemi, seperti flu, karena masih banyak ketidakpastian dampak yang mungkin ditimbulkan omicron.
Peringatan tersebut seperti mematahkan asumsi omicron akan menjadi varian virus yang mengakhiri pandemi Covid-19. Apalagi, WHO memperkirakan setengah populasi Eropa akan terinfeksi omicron dalam enam hingga delapan pekan ke depan.
Kabar itu bikin deg-degan. Apalagi, pembelajaran tatap muka sudah berlangsung 100 persen di DKI Jakarta.
Kasus pelajar positif Covid-19 terkait varian omicron sudah terkonfirmasi di SMAN 71, Jakarta Timur pada Selasa (11/1/2022). Semestinya, temuan itu tidak lagi direspons cuma dengan penutupan sekolah sementara, seperti aturan SKB 4 Menteri.
Ya, Jakarta memang masih di level 2 PPKM hingga bisa PTM 100 persen. Akan tetapi, praktiknya seharusnya lebih lentur, misalnya dengan tidak membuat penuh kapasitas kelas seperti yang disarankan pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko.
Membuat kelas diisi 50 persen sungguh solusi menentramkan. Semua anak tetap bisa PTM secara bergiliran. Tetap 100 persen juga konsepnya.
Alternatif-alternatif lain juga perlu dipikirkan. Perlu diingat, di sekolah, tidak semua kelas aslinya menunjang penerapan jaga jarak optimal satu meter. Jarak kursi antarsiswa masih rapat. Belum lagi ventilasinya, ada yang tidak bagus.
Selama enam jam pelajaran, 30-40 anak berdiam di satu ruangan. Andaikan semua murid dan gurunya sudah divaksinasi dan memakai masker pun, lapisan perlindungan lainnya itu di sejumlah sekolah ada yang masih lemah.
Di samping dengan mendapatkan vaksin Covid-19 protokol kesehatan kan juga harus dilaksanakan dengan ketat. Semua harus menggunakan masker, mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, menjaga jarak, menghindari kerumunan ,dan mengurangi mobilitas (5M).
Dari lima itu, menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan mengurangi mobilitas menjadi sulit bagi pelajar Jakarta di tengah PTM 100 persen. Bukankah lebih baik jika kita antisipasi dari sekarang agar angka kasus omicron bisa ditekan dan anak-anak tidak kembali belajar daring berkepanjangan?
Deg-degan rasanya membayangkan apa yang terjadi kalau kasus omicron semakin banyak. Mengingat tingginya daya tularnya, kasus omicron diperkirakan meningkat dua kali lipat tiap dua hari.
Peningkatan kasus omicron juga terjadi karena 32 mutasi yang dialami varian itu memungkinkannya menerobos perlindungan yang diinduksi oleh vaksin. Para pakar telah menyebut, kasusnya memang dapat naik dengan cepat, namun turun dengan cepat pula.
Per Selasa (11/1/2022), Indonesia mengonfirmasi 498 kasus omicron. Sebanyak 89 di antaranya merupakan transmisi lokal.
Prediksinya, Indonesia akan mencapai puncak kasus omicron pada Februari 2022 dengan 40 ribu hingga 60 ribu kasus per hari. Setengah bulan lagi lho!
Ketika kasus naik cepat itulah bahayanya. Risiko lebih besar membayangi orang-orang yang belum divaksinasi, berusia lanjut, dan memiliki komorbid.
Omicron juga disinyalir menjadi biang keladi kasus-kasus reinfeksi. Kena Covid-19 dua kali, siapa mau?
Kabar baiknya, vaksinasi booster mulai digulirkan. Sekitar 21 juta warga yang memenuhi kriteria—utamanya warga berusia 60 tahun ke atas dan kelompok rentan– akan mendapatkan vaksin booster secara gratis.
Akan tetapi, itu butuh waktu. Masih banyak tantangan yang membentang untuk membuat kelompok target menerima booster.
Sementara waktu, kekebalan yang diperoleh masyarakat dari vaksinasi terdahulu maupun infeksi alami telah turun. Celah proteksi ini yang membuat orang menjadi rentan.