MISALNYA, kita umpamakan semua warga Batam telah bekerja dan memperoleh penghasilan layak, juga jam kerja dan libur cukup untuk hibernasi dan berimajinasi dalam membangun jangkar harapan hidupnya, akankah fenomena bunuh diri tak akan terjadi seperti peristiwa yang beritanya ramai di beberapa pekan ini?
Ini memang fenomena global, seperti yang dikatakan Yuval Noah Harari bahwa sesudah kita berhasil menyingkirkan kelaparan, wabah/epidemi, dan perang/kekerasan yang semakin jarang terdengar, masalah baru kita adalah soal meningkatnya angka kematian akibat gula dan bunuh diri.
Maka yang disebut terakhir sudah terlalu sering saya mendengarnya sejak pertama singgah dan menetap di Batam yang punya slogan “Batam Kota Baru” untuk maju dan sejahtera yang parameternya tentu sehat jasmani dan sehat rohani (sehat mental/mental health).
Batam bermisi sebagai kota industri, kota investasi, dan kota pariwisata, maka sang “khalifah” Haji Muhammad Rudi (HMR) terus dan harus bekerja ekstra, agar mampu mencapai target2 RKPD 2025 di masa akhir jabatannya, yang diantaranya untuk ekonomi berkeadilan, pembangunan berkelanjutan, dan SDM unggulan.
Pada MTQ X Kepri yang akan segera diselenggarakan di kota Batam tentu sebagai program unggulan penyerap anggaran tahunan. Namun tak boleh menutup akan pertanyaan tentang apakah itu benar untuk membangun SDM unggulan, apakah benar merupakan bagian dari bagan-bagan akselereasi atas program-program pemerataan untuk pembangunan berkelanjutan?
Pembangunan berkelanjutan dengan membangun SDM unggulan tentu tidak semudah membalik telapak tangan, bagaimana itu dicanangkan di tengah orientasi industri padat modal daripada padat karya, atau mencoba untuk mengolaborasikan keduanya.
Tidak mudah menyusun dan merealisasikan progam-program untuk menyasar yang tepat sasaran hingga pokoknya habis anggarannya. Lebih sering ingin program populis untuk mercusuar demi menyenangkan atau mendulang lebih banyak konstituen menuju Kepri 1 misalnya.
Konstituen HMR sudah kadung menjulukinya “Bapak Pembangunan Batam” membuatnya harus mengurangi jatah tidurnya. Karena yang diharapkan bukan cuma membangun infrastruktur fisik, tapi infrastruktur nonfisik perlu perhatian lebih.
Tak dipungkiri kita menyaksikan keberhasilan revitalisasi bandara, pelabuhan dan jalan sebagai syarat akan syaraf nadi pertumbuhan. Tak dipungkiri juga telah tercipta dan terselenggara beberapa festival budaya dalam tiap-tiap momen tertentu sudah saya datangi dan nikmati yang terselenggara di Dataran Engku Putri dan tempat lainnya. Tapi arus manusia yang masuk dan stay in Batam masih luput dari program pemberdayaan yang merata.
Harapan sekaligus tuntutan kepada pejabat teras kota Batam, HMR selaku pemegang dua tahta sekaligus, sebagai Kapala Badan Pengusahaan (BP Batam) dan Walikota Batam mestinya dapat lebih mampu menciptakan terobosan-terobosan.
Rangkap jabatan sebagai Kapala BP Batam dan Walikota Batam sepenuhnya bertanggung jawab pada perpaduan seimbang antara membangun infrastruktur fisik dan nonfisik kota Batam, bahkan pembangunan nonfisik dapat dikatakan itu lebih penting.
Karena sejatinya membangun adalah membangun manusia; memanusiakan manusia. Manusia yang berjiwa butuh nutrisi bahagia, tidak sekadar pemenuhan kebutuhan fisisnya. Maka dibutuhkan indeks kebahagiaan untuk menuju kota bahagia.
Sementara yang terjadi di beberapa pekan ini, dan bulan sebelumnya sering saya mendengar berulang kejadian serupa, yang artinya orang bunuh diri di Batam sudah sebagai The phenomenon.
Tak sedikit warga yang memilih bunuh diri membiarkan ratapan orang-orang terkasihnya tak berarti. Sudah pula dilakukan di tempat icon kota Batam, jembatan Barelang, yang bisa saja mengganggu akselerasi pencapaian 3 juta wisatawan.
Semua pemangku kepentingan tentu harus bersinergi untuk mampu mewadahi dan menaungi semua sejak hulu ke hilir kebutuhan warga. Untuk terwujudnya kesehatan mental warga Batam harus dapat memastikan berapa jumlah psikiater yang sudah ada dan berapa yang semestinya dan selayaknya sesuai dengan proporsi jumlah penduduk Batam.
Semua orang bisa rentan, maka kapasitas jumlah tak boleh kita abaikan untuk dapat mengantisipasi secara preventif dan kuratif. Langkah menyeluruh memerlukan kajian dan penelitian khusus untuk mencari sesungguhnya penyebab.
Tentu ada beberapa faktor dan penanda mengapa orang melakukan bunuh diri dapat kita lihat secara usia dan motifnya. Sejauh penelusuran untuk menjadi pertimbangan, pelaku bunuh diri rata-rata usia muda yang terus meningkat (menurut data Kementerian Kesehatan) dan banyak motif karena penyakit, ekonomi, dan hubungan interpersonal (atau percintaan).
Batam yang penghuninya heterogen dapat menjadi peluang sekaligus ancaman dalam kohesi sosial, sudah menumbuhkan paguyuban-paguyuban dan komunitas sosial lainnya sebagai wahana menemukan patronase, tapi sebagai organisasi atau lembaga informal pasti punya batas kemampuannya untuk hal dalam pembicaraan ini.
Menurut Neila Revda yang tulisannya dimuat di Pusdeka UNU Yogya, menyatakan ada berbagai sebab yang dapat saling melengkapi hingga orang berkecendrungan bunuh diri. Bunuh diri karena pelakunya mengalami gangguan mental, tapi tidak berarti orang yang mengalami gangguan mental akan punya kecenderungan bunuh diri.
Menurutnya lagi, penting ketika kondisi sosial kurang menyediakan ruang untuk saluran-saluran, untuk menaruh kepedulian antar sesama, maka seseorang akan mudah mengalami gangguan mental, sehingga memunculkan perasaan negatif seperti cemas, terasing dan depresi di lingkup masyarakat yang kurang tingkat kepeduliannya, karena barangkali masing-masing sudah punya atau sudah sibuk urusannya sendiri.
Pemerintah mestinya dapat memastikan sudahkah terbangun insfrastruktur sosial dengan jumlah yang cukup. Satu sebab mungkin dapat ditelusuri Batam yang pada umumnya kaum pendatang dan tak sedikit yang mengalami cultural shock, serta kurang adanya ruang-ruang budaya untuk komunikasi antar massa dan setara.
Ruang budaya bukan sekadar festival kuliner, konser musik, atau memperbanyak taman-taman kota, melainkan harus tercipta saluran-saluran yang dialogis baik untuk saluran yang sifatnya politis, ekonomis, sosiologis, bahkan antropomorfis.
Maka di Batam sering saya membayangkan seandainya ada pengajian budaya semisal Kenduri Cinta di Jakarta. Di sana semua hal dapat diperbincangkan, semua hal dapat dipertanyakan, dan tak takut akan penghakiman, karena ada inisiasi oleh mentor sekelas budayawan Emha Ainun Nadjib atau biasa disapa Mbah Nun.
Tentang fenomena bunuh diri letak masalahnya pada soal kesehatan mental yang harus lebih diperhatikan oleh para pemangku kepentingan. Penyebabnya, Neila Revda menyatakan ada 4 faktor penyebab dan penanda gangguan kesehatan mental, yakni fakto risiko, budaya, pemicu dan pelindung.
Pertama sebab Faktor Risiko, yakni karakteristik individu yang sifatnya biologis, psikologis dan situasional seperti sakit berkepanjangan atau ada riwayat keluarga ODJG. Kedua Faktor Budaya yang mencakup kondisi geografis buruk yang mengakibatkan kemiskinan dan terbangun mitos tertentu (seperti Pulung Gantung di Ujungkidul).
Selanjutnya Faktor Pemicu, seperti perilaku impulsif dan agresif yang mengakibatkan konflik interpersonal (teman, pasangan dan rekan). Keempat Faktor Pelindung, sehubungan tingginya tingkat religiusitas seseorang, dan kepedulian keluarga serta tetangga, juga program pemerintah yang harus punya perhatian penuh pada kualitas hidup dan kesehatan mental.
Bagi psikiater ternama sekaligus anggota dewan 2009-2014, Nova Riyanti Yusuf, yang telah menginisiasi UU Kesehatan Jiwa sebagai ranah Public Policy di sisi pemerintah-penguasa, menurutnya juga harus ada penguatan di sisi komunitas yang dimulai dari keluarga dan sosialita, yang dalam posisinya di Batam telah tumbuh berbagai paguyuban dan komunitas sosial lain juga harus punya kepedulian akan kesehatan mental.
Pendekatan lainnya tidak hanya menekankan ketercukupnya rumah sakit (jiwa), tapi Kementrian Kesehatan beserta dinas terkait perlu melakukan upaya preventif dan kuratif sampai ke tingkat grassroot, misalnya di setiap posyandu juga menyediakan ruang penyuluhan untuk masalah kesehatan mental.
Semestinya, pembelajaran kesehatan mental sudah menjadi bagian dari kurikulum pendidikan sampai materi keagamaan/pengajian. Lebih penting untuk kita sebagai warga, setiap orang harus paham ketika dirinya sendiri mengalami problema dan harus ke mana sebaiknya datang saat mencari solusinya. Apakah harus datang ke psikiater, agamawan, atau dokter umum.
Masalahnya pada masyarakat kita sering mengandalkan efek plasebo; semua hal diadukan pada satu orang tetua sebagai pewaris Authoity of Truth dari abad mitos/agraris.
Maka, hal yang sangat perlu diatasi adalah masalah yang datang pada diri dan orang terdekat kita, apakah sebaiknya dan seharusnya dalam cara penanganannya yang tepat sasaran dengan memenuhi unsur-unsur profesionalisme. Apakah dengan cukup datang ke ahli agama atau motivator saja, atau perlu penanganan secara medis, atau sudah kritis yang harus ditangani ke psikiatri.
Namun, bukan berarti psikiater adalah jalur terakhir, karena justru bisa sebagai langkah awal dalam antisipasi urusan kesehatan mental. Sementara, hal itu menjadi tugas dan kewajiban pemerintah agar mampu mengayomi dan menyadari pentingnya kesehatan mental mengingat betapa berharganya satu nyawa dan tak ada gantinya.***
Penulis: Sofyan Salahudin, Pegiat literasi, pejalan kaki, dan pendiri Saladin Institute.