BATAM (HK) – Air laut di pesisir pantai Teluk Mata Ikan, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) berubah warna menjadi cokelat, terutama setelah hujan lebat.
Sejak Februari 2024, para nelayan di daerah tersebut melaporkan kejadian ini yang berulang secara konsisten. Selain perubahan warna air laut, sebagian pesisir pantai juga kini dipenuhi oleh lumpur tanah yang terbawa oleh hujan.
Lumpur yang mencemari kawasan tersebut diduga berasal dari proses cut and fill atau pematangan lahan untuk pembangunan gedung Pusat Data Nasional (PDN) oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Proyek ini merupakan bagian dari program strategis nasional (PSN).
“Yang parah itu saat musim hujan, kalau hujan lebat tanah keluar dari lokasi cut and fill di atas dan masuk ke laut,” kata Andi Mazan seorang warga setempat kepada awak media, pekan lalu.
Ketika itu, Andi bersama dengan perangkat desa dan Ketua Komisi II DPRD Provinsi Kepri mengunjungi lokasi kejadian. Terlihat bahwa sungai kecil yang berasal dari proyek Kemenkominfo mengalir menuju laut. Beberapa area juga sudah dilengkapi dengan bendungan yang dibangun.
“Kolam ini dibangun agar menghambat lumpur agar tidak turun ke laut, tetapi itu tak berguna,” kata Saparudin, Ketua RW 07 Kelurahan Sambau, Kecamatan Nongsa, Batam yang dikutip pada Senin (5/8/2024).
Para nelayan di pesisir Teluk Mata Ikan merasa dirugikan setelah terjadinya pencemaran laut akibat lumpur dari proyek PDN Kemenkominfo. Bahkan, penghasilan mereka mengalami penurunan sebesar 35 persen.
“Pendapatan nelayan menurun 30-35 persen,” kata Andi Mazan yang juga Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Pesona Mata Ikan.
Dampak paling signifikan dirasakan oleh nelayan pesisir yang menggunakan jaring. Ketika mereka mengangkat jaring, alih-alih menemukan ikan, jaring tersebut justru penuh dengan lumpur.
“Nelayan melaporkan alat tangkap mereka kadang dipasang sudah berubah warga jadi mereka, kadang juga kekuning-kuningan, sehingga ikan tidak mau singgah,” katanya.
Sedangkan dampak pencemaran bagi nelayan pancing adalah tidak dapat ikan umpan di pesisir pantai. “Kalau pantai keruh, udangpun engan, umpan nelayan jadi juga sulit,” tambahnya.
Warga mengungkapkan bahwa mereka tidak menolak pembangunan, namun mereka mengharapkan agar proyek tersebut memberikan manfaat bagi mereka, bukan malah merusak laut tempat mereka mencari ikan.
Meskipun perangkat kampung dan nelayan telah bertemu dengan pihak perusahaan tiga kali sejak Februari 2024, belum ada upaya yang jelas untuk mencegah pencemaran lumpur ke laut.
“Satu saja tuntutan kita bagaimana lumpur agar tidak ke laut. Karena kalau laut rusak, banyak dampaknya,” kata Andi.
Tidak hanya para nelayan, pelaku pariwisata di sekitar lokasi juga merasakan dampak negatif. Wisatawan jadi enggan mengunjungi pantai yang sudah tercemar lumpur. Intinya, satu hal yang diharapkan adalah agar lumpur tidak lagi mencemari laut.
“Bagaimanapun, caranya itu kami serahkan ke perusahaan karena perusahaan punya SDM (sumber daya manusia) yang hebat untuk itu,” katanya.
Nelayan lain, Khalil, juga menyatakan hal yang sama. Ia mengungkapkan bahwa pemerintah perlu segera menangani masalah penurunan tanah bekas pemotongan lahan ke laut sebelum dampaknya menjadi lebih serius.
Sumber: Mongabay Indonesia