KARYA sederhana untuk mengurangi angka pengangguran; untuk meminimalkan adanya manusia-manusia irrelevant (nirguna atau useless humans, kata Yuval Noah Harari) dalam menuju Indonesia Cemas 2045, alih-alih Indonesia Emas 2045 yang didamba manusia-manusia yang punya elan vital di zaman peralihan, hingga membawa Jakarta dicabut statusnya sebagai ibukota negara yang berpindah ke IKN Nusantara.
Mendamba masa depan manusia Indonesia yang bukan kata Mochtar Lubis, tetap saja memasuki Revolusi Industri 4.0 dalam pengembangan bio dan info-teknologi akan mengubur impian liberalisme yang telah mengagungkan entitas individual yang punya Freewill sejak kobaran semangat Revolusi Perancis.
Karena selanjutnya kita berguna (atau akan bisa berguna) hanya dalam pengertian guyub/kolektif sebagai negara/umat/komunitas. Karena pembuktian secara biologi molekuler dan biologi evolusi tentang sang aku adalah individual itu dividual, atau sebenarnya organisme sekumpulan multiseluler atau kompleksitas zarah-zarah dari arah kewujudan Mumkin Al-Wujud.
Meski sebagai negara tetap juga terjadi pembelahan antara Utara/Uni Eropa+Amerika dan Selatan sebagai Dunia Ketiga yang berkembang –ameliorasi dari sebutan negara miskin, vs negara maju yang penghuninya para korporasi global yang telah dan terus meningkatkan kecerdasan unggul manusia-super, karena telah mampu memetakan/memisahkan antara mana kecerdasan (intelligence) dan apa itu kesadaran (consciousness).
Tetapi masa depan yang lebih jauh lagi, sebelum kepunahan Sapiens yang akan digantikan oleh jejaring algoritma (AI), sebagaimana dulu Erectus dipunahkan oleh Sapiens yang telah berulah memasuki era Antroposen, yakni adanya percepatan kepunahan massal di Bumi, pada mulanya Sapiens tahu informasi (dan selanjutnya fiksi yang memudahkan koalisi) sejak kuasa api.
Karena kata Richard Dawkins, bahwa yang inti bukanlah api, bukan nafas hangat dalam denyut hangat regenerasi, tapi yang memercik kehidupan adalah sebenarnya informasi, baik informasi yang terpilin di kode DNA/RNA, dan atau yang kemudian menjadi kata dan simbol bahasa, yang selanjutnya menjadi cerita sebagai gosip/mitos dan kemudian menjadi agama/negara.
Karena bahkan informasi adalah jantung teknologi Antroposen, maka guna informasi yang terdiferensial sebagai media pers di era infoteknologi adalah teknologi informasi menuju langkah-langkah percepatan dalam fungsi informasi sebagai perbedaan yang membuat perbedaan dan yang bisa mengarahkan perubahan, atau bahkan mampu mengurangi keacakan karena telah mendidik nalar.
Karena kerusakan planet yang kita huni seperti pemanasan global yang mulai sebagai kesadaran mengglobal dalam entropi dan evolusi menuju keadaan kacau terhebat (sebagai konsekuensi hukum termodinamika kedua), setidak-tidaknya dengan media informasi dapat sedikit menunda memasuki Zaman Edan, pinjam kata dari Ranggawarsita.
Bahkan menurut filsuf Daniel C. Dennett bahwa kita yang pemakan segala (Omnivora), kita juga adalah Informavora -pengkonsumsi informasi termasuk segala Hoax-nya. Maka dibutuhkan kurator pertama dari organisatoris akalbudi untuk dapat membedakan mana madu dan mana tinja, dan ke sanalah maksud dan tujuan kami membangun industri pers profesional dan berwawasan eco-global dari edisi cetak lalu mengembangkan media online http://www.harianhaluankepri.com.***
Penulis: Sofyan Saladin, Pegiat Literasi