JAKARTA (HK) – Bank Dunia merilis data terbaru terkait kondisi utang negara-negara berkembang dalam hal ini termasuk Indonesia.
Laporan itu mengingatkan bahwa kenaikan suku bunga telah meningkatkan kerentanan utang di semua negara berkembang.
“Tingkat utang yang sangat tinggi dan suku bunga yang tinggi telah menempatkan banyak negara di jalur menuju krisis,” kata Kepala Ekonom dan Wakil Presiden Senior Grup Bank Dunia, Indermit Gill dalam laporan utang Internasional terbaru Bank Dunia, dikutip Selasa (19/12/2023).
Laporan tersebut mengungkap negara-negara berkembang mengeluarkan dana sebesar US$ 443,5 miliar atau setara Rp 6.880 triliun (kurs Rp 15.515) untuk melunasi utang publik dan jaminan publik mereka pada 2022.
Peningkatan pengeluaran ini pun menggeser kebutuhan penting seperti kesehatan, pendidikan, dan lingkungan.
Pembayaran utang termasuk pokok dan bunga disebut meningkat 5% dibandingkan tahun sebelumnya di semua negara berkembang. Ini terjadi saat era suku bunga tinggi menghantam dunia.
Tak hanya suku bunga, penguatan dolar AS menambah kesulitan negara-negara berkembang untuk melakukan pembayaran karena menjadi lebih mahal.
Dalam situasi seperti ini, kenaikan suku bunga lebih lanjut atau penurunan tajam pendapatan ekspor dapat membuat kondisi tidak menguntungkan.
Dalam tiga tahun terakhir, terdapat 18 negara disebut mengalami gagal bayar. Laporan itu juga mengungkap bahwa saat ini sekitar 60% negara berpendapatan rendah mempunyai risiko tinggi atau sudah mengalami kesulitan utang.
“Setiap triwulan di mana suku bunga tetap tinggi mengakibatkan semakin banyak negara berkembang yang tertekan dan menghadapi pilihan yang sulit untuk melunasi utang publiknya atau berinvestasi pada bidang kesehatan masyarakat, pendidikan, dan infrastruktur,” ucapnya.
Ketika biaya pembayaran utang meningkat, pilihan pembiayaan baru bagi negara-negara berkembang pun berkurang. Pada 2022 komitmen pinjaman eksternal baru kepada entitas publik dan entitas yang dijamin publik di negara-negara tersebut turun sebesar 23% menjadi US$ 371 miliar, terendah dalam satu dekade.
Kreditor swasta sebagian besar abstain dari negara-negara berkembang, menerima pembayaran pokok sebesar US$ 185 miliar lebih banyak daripada yang mereka berikan dalam bentuk pinjaman.
Hal ini menandai pertama kalinya sejak 2015 kreditor swasta menerima lebih banyak dana daripada yang mereka masukkan ke negara-negara berkembang.
Obligasi baru yang diterbitkan oleh semua negara berkembang di pasar internasional turun lebih dari setengahnya pada 2021 hingga 2022. Penerbitan surat utang negara-negara berpendapatan rendah juga turun lebih dari tiga perempatnya.
“Ketika pembiayaan dari kreditor swasta semakin berkurang, Bank Dunia dan bank pembangunan multilateral lainnya turun tangan untuk membantu menutup kesenjangan tersebut. Kreditor multilateral memberikan US$ 115 miliar pembiayaan baru berbiaya rendah untuk negara-negara berkembang pada 2022, hampir setengahnya berasal dari Bank Dunia,” tulis laporan tersebut.
Laporan tersebut mencatat negara-negara yang memenuhi syarat untuk meminjam dari Asosiasi Pembangunan internasional (IDA) telah menghabiskan 10 tahun terakhir untuk menambah utang mereka dengan kecepatan yang melebihi pertumbuhan ekonomi mereka.
Pada 2022, gabungan jumlah utang luar negeri negara-negara yang memenuhi syarat IDA mencapai rekor sebesar US$ 1,1 triliun, lebih dari dua kali lipat dibandingkan 2012.
Dari 2012-2022, negara-negara yang memenuhi syarat IDA meningkatkan utang luar negerinya sebesar 134%, melampaui peningkatan pendapatan nasional bruto (GNI) sebesar 53%.
“Sebuah tanda bahaya bagi prospek mereka di tahun-tahun mendatang,” tutup laporan tersebut.
Utang pemerintah Indonesia sendiri sudah tembus Rp 8.041,01 triliun hingga 30 November 2023. Jumlah itu naik Rp 90,49 triliun dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 7.950,52 triliun.
Pertambahan utang itu membuat rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) per 30 November 2023 menjadi 38,11%, naik dari bulan sebelumnya yang di level 37,95%.
Posisi itu masih di bawah batas aman yang telah ditetapkan yakni 60% PDB sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
“Nilai rasio utang tersebut lebih rendah dibandingkan akhir 2022 dan masih di bawah batas aman 60% PDB sesuai UU Nomor 17/2023 tentang Keuangan Negara. Rasio ini juga masih lebih baik dari yang telah ditetapkan melalui Strategi Pengelolaan Utang Jangka Menengah 2023-2026 di kisaran 40%,” tulis Kementerian Keuangan dalam Buku APBN KiTA.
Jumlah itu merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah Indonesia. Ekonom menilai peningkatan jumlah utang saat ini perlu diwaspadai karena bebannya semakin tidak berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi.
“(Kondisi utang pemerintah Rp 8.041,01 triliun) tertinggi sepanjang sejarah. Perlu diwaspadai terutama utang luar negeri terhadap beban utang pemerintah dan BUMN makin tidak berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi,” kata Direktur Center of Law and Economic Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira.
Sumber: DetikFinance