JAKARTA (HK) – Polusi udara di DKI Jakarta dan wilayah sekitarnya masih dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Solusi jangka pendek dari pemerintah untuk mengendalikan polusi dinilai terlalu lamban.
Pemerintah pun diminta segera mengambil keputusan dalam waktu singkat untuk membereskan persoalan polusi yang membahayakan.
Dokter senior yang juga guru besar Universitas Indonesia (UI) Zubairi Djoerban mengatakan, polusi di Jakarta dan wilayah sekitarnya sudah mencapai tahap yang membahayakan. Namun, ia menyayangkan sikap pemerintah yang tidak cepat tanggap.
“Tidak lagi sekadar membahayakan. Namun tanggapan pemerintah masih terkesan ‘selow’ sehingga tidak menumbuhkan kesadaran akan kondisi kedaruratan di masyarakat,” kata Zubairi, Minggu (20/8/2023).
Mungkin, lanjut Zubairi, saat ini korban jiwa memang belum banyak jatuh di Indonesia. Selain itu juga minimnya data yang akurat membuat polusi seperti hal yang biasa.
Namun, dalam kenyataannya di ruang-ruang praktik dokter jumlah pasien yang datang dengan keluhan ISPA, penyakit paru obstruktif, kanker paru, dan pneumonia dan lain-lain yang diduga kuat akibat pencemaran udara meningkat.
Bahkan, seorang pakar kesehatan WHO Maria Neira menyebutkan paparan terus-menerus terhadap polutan menyebabkan gangguan serius pada sistem imun yang menyebabkan masalah pada pada sistem pernapasan.
Akibat itu, salah satu yang dikhawatirkan adalah Covid-19 yang terus memproduksi varian baru.
“Bukan hanya terkait pernapasan, dokumen-dokumen yang dilansir serta jurnal-jurnal kedokteran terkemuka seperti The Lancet, menyebutkan bahwa polutan yang terhirup oleh manusia juga menyebabkan masalah pada sistem kardiovaskular sehingga menyebabkan serangan jantung hingga penyakit-penyakit neurologis,” ujar dia.
Selanjutnya, polusi udara juga dapat menyebabkan masalah pada sistem reproduksi dan pencernaan manusia.
Menurut Zubairi, patut dicurigai bahwa meningkatnya jumlah pasien dengan GERD di ruang-ruang praktik dokter akhir-akhir ini juga disebabkan oleh kualitas udara yang buruk.
“Polusi udara memang seberbahaya itu, terutama untuk kelompok-kelompok rentan termasuk balita dan lansia, serta mereka yang memiliki kerentanan tertentu,” ujar Zubairi.
Kondisi pencemaran udara bisa dipastikan akan semakin buruk setiap tahunnya.
Pertambahan jumlah penduduk, kendaraan bermotor, tumbuhnya aneka industri yang bertumpu pada bahan bakar fosil, jelas menjadi pemicu.
“Di Indonesia risikonya bertambah dengan kebiasaan membakar lahan sebelum ditanami, yang meluas menjadi kebakaran hutan dan asapnya turut mencemari negara tetangga,” ucap Zubairi.
Dia mengatakan, perlu beberapa langkah berani yang harus diambil pemerintah.
Pertama, ada baiknya kebijakan bekerja secara hibrida, yakni maksimal bekerja empat hari dalam sepekan berlaku umum, tidak hanya ASN; terkecuali beberapa pekerjaan khusus, misalnya rumah makan.
“Sudah dibuktikan bahwa bekerja empat hari sepekan lebih produktif dari lima hari. Belgia dan Jepang juga sudah menerapkan bekerja empat hari sepekan,” terangnya.
Sumber: Republika