JAKARTA (HK) – Mahkamah Agung (MA) mengungkap alasan melarang semua pengadilan untuk mengabulkan pencatatan pernikahan berbeda agama dan keyakinan.
Larangan itu tertuang dalam Surat Edaran (SE) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-umat yang Berbeda Agama dan Keyakinan.
SE itu ditandatangani Ketua MA Muhammad Syarifuddin pada Selasa (17/7/2023). Juru Bicara MA Suharto menjelaskan SEMA itu ditujukan ke ketua pengadilan banding dan ketua pengadilan tingkat pertama.
Suharto mengatakan SEMA tersebut memberikan petunjuk bagi hakim dalam mengadili perkara permohonan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan.
“Tujuannya jelas untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum dan itu juga merujuk pada ketentuan Undang-undang. Itu sesuai fungsi MA. SEMA itu prinsipnya bukan regulasi tapi pedoman atau petunjuk dan rujukannya juga pasal 2 UU Perkawinan,” ujar Suharto pada Kamis (20/7/2023).
MA, kata Suharto, menjalankan fungsi pengawasan sebagaimana yang diatur dalam pasal 32 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang MA. “SEMA dipedomani ke depan artinya ke depan bila hakim mengadili perkara permohonan pencatatan perkawinan beda agama agar memedomani SEMA tersebut yang mengacu pada pasal 2 Undang-undang Perkawinan,” ujarnya.
Sebelumnya MA melarang semua pengadilan untuk mengabulkan pencatatan perkawinan berbeda agama dan keyakinan. “Para hakim harus berpedoman pada ketentuan: Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan,” kata Ketua MA Muhammad Syarifuddin dalam SEMA tersebut.
Syarifuddin mengatakan hal itu dilakukan untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan.
Syarifuddin mengungkapkan perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.
“Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,” ujarnya.
Dalam Pasal 8 Undang-Undang Perkawinan dijelaskan enam larangan perkawinan antara dua orang, yakni berhubungan dalam darah garis keturunan lurus ke bawah maupun ke atas; berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu, dan ibu/bapak tiri.
Selain itu, berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan; berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.
“Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin,” demikian bunyi Pasal 8 huruf f UU Perkawinan.
Sejumlah pengadilan di Indonesia mengabulkan pernikahan beda agama dan keyakinan. Beberapa pengadilan yang memperbolehkan itu, yakni Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, PN Jakarta Pusat, PN Jakarta Selatan, PN Tangerang, dan PN Yogyakarta.
Sumber: CNN Indonesia