TANJUNGPINANG (HK) – Warga Negara (WN) Singapura, Sam’on, terdakwa dugaan kasus tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) meminta majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Tanjungpinang memberikan hukuman yang seringan-ringannya dan seadanya atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebelumnya, Rabu (22/2).
Permohonan tersebut disampaikan terdakwa Sam”on melalui Penasehat Hukumnya, Iwan Kurniawan dan Rusmadi dalam nota pembelaan (Pledoi) kepada majelis hakim PN Tanjungpinang yang mengadili perkara tersebut.
Iwan Kurniawan bahkan dalam sidang menyebutkan, bahwa korban Ys, Istri terdakwa, pernah meminta uang perdamaian kepada kliennya sebesar Rp300 juta.
Namun karena permintaan itu tidak dipenuhui oleh kliennya, karena dianggap terlalu memberatkannya dan terkesan seperti memeras terdakwa yang sedang dalam menjalani proses hukum seperti saat ini.
“Sangat kurang pantas rasanya seorang isteri (korban) minta sejumlah uang perdamaian terhadap suaminya yang belum bercerai secara resmi menurut hukum,” ungkap Iwan.
Selain itu Iwan menambahkan berdasarkan keterangan saksi A De Charge, Kasmunah dan Asfan bahwa sepengetahuan mereka terdakwa orangnya baik, selalu berbagi dan menolong orang yang membutuhkan bantuan.
Ditambah lagi terdakwa taat beribadah selama di Tanjungpinang dan tidak ada permasalahan dengan hukum, baru pertama ini ada kejadian terkait KDRT.
“Mohon kiranya nanti kepada yang mulia Majelis Hakim dalam perkara a quo dapat untuk dijadikan pertimbangan hukum dalam putusannya,” ucap Iwan.
Sementara itu berdasarkan hasil visum Et-repertum, dokter Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tanjungpinang menunjukkan bahwa luka yang dialami anak korban dan korban hanyalah luka ringan yang tidak menghalangi dan atau mengganggu aktifitasnya sehari hari.
Iwan juga menyebutkan terkait dengan yang disampaikan dimuka persidangan oleh korban, bahwa anak korban mengalami muntah darah dan pergelangan tangannya sakit yang tidak bisa digerakkan adalah rekayasa yang tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya.
“Dikarenakan tidak ada satupun bukti terkait dengan rekam medis atas nama anak korban,” jelas Iwan.
Lebih lanjut Iwan mengungkapkan, alasan dan penyebab terjadinya pertengkaran antara terdakwa dan istrinya (korban), dikarenakan perkataan yang dilontarkan istrinya tersebut dengan bahasa tudingan yang tidak pantas sehingga memicu emosi terdakwa.
Iwan juga menjelaskan, kedatangan terdakwa ke Tanjungpinang awalnya setelah mendapatkan telpon dari istrinya tersebut, dengan alasan telah menabrak anak kecil hingga meninggal dunia dan meminta uang perdamaian Rp50 juta.
“Kemudian terdakwa datang ke Tanjungpinang dengan membawa uang Rp50 juta sesuai permintaan saksi korban (istrinya) tersebut. Setelah sampai di Tanjungpinang, ternyata ceritanya berbeda, bahwa yang menabrak anak kecil tersebut merupakan seorang tukang ojek, sehingga saat itu juga terjadi percekcokan,”bebernya.
Iwan juga berharap agar majelis hakim yang mengadili perkara ini dapat memberikan hukuman yang seringan-ringannya dengan alasan, terdakwa merupakan tulang punggung keluarga, telah berusia lanjut, belum pernah dihukum dan menyesali perbuatannya sebagaimana terungkap dalam persidangan dan meminta maaf kepada saksi korban.
“Dalam hal ini, kami selaku penasehat hukum terdakwa telah berupaya semaksimal mungkin untuk meyakinkan secara yuridis terhadap proses persidangan dalam perkara ini, serta memperlihatkan secara fakta hukum yang sesungguhnya terjadi,” ujar Iwan.
Terhadap pledoi ini JPU Bambang Wiradhany dari Kejari Tanjungpinang tetap pada tuntutannya dan tidak menanggapi secara tertulis.
Mendengar itu, Ketua Majelis Hakim, Siti Hajar Siregar didampingi oleh Majelis Hakim Justiar Ronald dan Risbarita Simarangkir menunda persidangan selama satu pekan dengan agenda putusan.
Sebelumnya, JPU menuntut terdakwa selama 10 bulan penjara karena dinilai telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana KDRT tersebut. (nel)